PEMULUNG
DAN KEMISKINAN KOTA
Disusun
Oleh :
ezra edmund zr
(153110100)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi terbatas tentang kemiskinan
pemulung di wilayah perkotaan Kota Yogyakarta ini, akan diarahkan dengan
melihat dua hal pokok yang menjadi inti penelitian, yakni, pertama, faktor penyebab kemiskinan pemulung, dan yang
kedua, strategi yang digunakan untuk bertahan hidup (internal-eksternal).
Untuk menjelaskan hal ini, maka indikator kemiskinan yang akan digunakan
sebagai pintu masuk dari penelitian ini adalah “tingkat penguasaan sumber daya
produktif”, dengan “pekerjaan/pendapatan” sebagai proxy indikator dan berbagai
nilai atau makna yang digunakan.
Studi ini juga, sesungguhnya didorong
oleh semangat untuk mencari model kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
sekiranya lebih tepat, untuk dikontribusikan kepada negara dalam mengatasi
kemiskinan yang telah menjadi salah satu masalah paling serius, dan karenanya
ia juga menjadi keprihatinan kolektif bangsa saat ini. Bagimana tidak?
Berdasarkan hasil survey Badan Pusat Statistik tahun 2007, dari 230 juta
penduduk Indonesia, terdapat sedikitnya 38,4 juta jiwa penduduk menyandang atas
apa yang disebut “orang miskin”, dan dalam tahun 2008 ini diproyeksi menurun
menjadi 38 juta jiwa. Data-data statistik ini, secara sederhana mau menjelaskan
bahwa, Indonesia belum memiliki kapasitas yang memadai dalam menanggulangi
kemiskinan. Padahal, berbagai program strategis telah dirancang dan
dilaksanakan, serta triliunan dan telah dikucurkan untuk proyek kemiskinan ini, sebuah
ironi yang sulit dihindari bukan?.
Di antara “Komunitas 38” (untuk
menyebut penduduk miskin Indonesia yang berjumlah 38 juta ini), kaum pemulung
menjadi bagian yang tidak terpisahkan, entah berapa jumlahnya kini. Mereka ini
(baca : pemulung), umumnya hidup dan tinggal serta beraktifitas di daerah
perkotaan, termasuk Kota Yogyakarta.
Sesuai definisinya, pemulung adalah orang
yang memungut barang-barang bekas atau sampah tertentu untuk
proses daur ulang. Bagi kalangan
tertentu, pekerjaan pemulung dianggap memiliki konotasi negatif, padahal di
saat yang sama, bagi sebagian orang pula, pemulung adalah pahlawan kota, mereka
adalah “arsitektur-arsitektur keindahan dan kebersihan kota”. Tanpa mereka,
bisa dibayangkan bagaimana kotor dan dekilnya sebuah kota yang di dalamnya
bertebaran dan berseraknya sampah-sampah. Dampak dari potret kota yang
demikian ini tentu saja adalah, menjeritnya penghuni kota akibat hidup dalam
ruang-ruang yang dipastikan kotor dan karenanya menjadi biang segala macam
penyakit. Sebuah ironi tentu saja, karena di saat yang sama, kota terlanjur
dianggap sebagai pusat peradaban umat manusia. Namun ironisnya, mereka tidak
diberdayakan, mereka selalu dilupakan dalam hiruk-pikuk dan hingar-bingar
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan perkotaan.
Hari ini, keprihatinan akan potret kota
dan nasib hidup pemulung sedang berlangsung di sebuah kota budaya, kota pelajar
yang bernama Yogyakarta ini. Menyusuri lorong-lorong kota Yogyakarta hari ini,
seperti di Kecamatan Tegalrejo, kita masih saja disuguhkan atas apa yang
disebut sampah, baik berserakan maupun terlokalisir di TPS maupun TPA, dan di
sana pula tampak aktifitas memungut atau mengais sampah dari orang-orang kecil
yang tidak berdaya secara ekonomi yang kita sebut pemulung tadi. Tong atau bak
sampah menjadi tempat mereka bersandar hidup. Tak kenal lelah, mereka terus
mengais apa saja yang bagi mereka bermanfaat untuk mendapatkan uang. Dan
karenanya, terik panas matahari dan guyuran hujan, bukan merupakan penghalang
bagi mereka. Bagi mereka, hidup memulung atau bekerja sebagai pemulung adalah
sebuah takdir yang tidak memberi pilihan lain untuk mengubah hidup dan
kehidupan, karena fakta terus saja berbicara bahwa, di samping tidak memiliki
keahlian (unskill), tinggal di daerah-daerah kumuh (slum area),
mereka juga tidak memiliki sumber daya/asset produktif yang diandalkan, seperti
tanah, modal dan upah tetap.
Pada kondisi seperti ini, mereka (pemulung seperti Ibu Slamet yang menjadi obyek studi
ini, dengan penghasilan Rp. 10.000,- per hari) dengan mudah dipastikan, tidak
dapat membiayai kebutuhan hidup (hak dasar) serta tidak memiliki posisi dan
kapasitas yang memadai untuk memperoleh akses atas pelbagai ketersediaan
barang-barang publik (apalagi barang-barang politik). Di samping itu, kontrol
dan pengaruh mereka terhadap negara menjadi sangat lemah, bahkan tidak ada
karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk urusan tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan
mendasar yang kemudian muncul adalah, di mana dan apa tugas negara untuk
mengatasi masalah ini? Apapun alasannya, negara berkewajiban menyediakan
barang-barang publik untuk warga negaranya, terutama yang berkaitan dengan basic
human rigths yaitu, hak atas pekerjaan dan pendapatan yang layak, pendidikan
dan kesehatan yang gratis dan memadai. Di negara-negara Skandinavia semisal
Norwegia, Denmark, Swiss dan Swedia, negara secara total menyediakan kebutuhan
akan pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Mempertegas akan hal ini, Cornelis Lay sebagimana mengutip
Paul Stretteen, mengatakan bahwa
:
“...jangan-jangan kemiskinan itu harus dipahami
sejauhmana kemampuan mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs)
seperti sandang, pangan, papan...tetapi juga...memahami
kemiskinan tidak sekadar kapasitas menyediakan hal-hal yang material itu tetapi
juga tentang politik”.
Pernyataan ini lagi-lagi ingin
mempertegas bahwa, negara wajib membuat rakyatnya sejahtera, apapun alasannya,
dan pada saat yang sama membuka akses yang memadai bagi berlangsungnya partisipasi.
Lalu, apa yang telah dilakukan negara?
Sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini bahwa berbagai program strategis
telah dilakukan berikut trilyunan dana telah digelontorkan untuk membiayai
proyek kemiskinan ini, namun angka kemiskinan tetap saja bertambah,
pengangguran semakin meningkat dan pemulung tentu saja selalu ada dan hadir di
setiap kota.
Dalam konteks lokal di Kota Yogyakarta
ini, sesungguhnya Pemerintah Kota melalui Rencana Aksi Daerah Penanggulangan
Kemiskinan dan Pengangguran, telah melakukan banyak hal untuk mengatasi masalah
kemiskinan perkotaan (pemulung yang jauh dari hidup sejahtera), baik
progran-program yang bersifat karitas (charity) seperti BLT, Raskin,
dll, income generating policy, pemberdayaan, peningkatan kapasitas produksi, dan
lain-lain, namun tetap saja komunitas orang miskin semakin meningkat. Beberapa
kemungkinan, mengapa program-program pemberdayaan masyarakat atau
penanggulangan kemiskinan seringkali gagal.
Berangkat dari realitas kemiskinan
pemulung di Kota Yogyakarta dan ironi kebijakan yang utopis sebagaimana
diuraikan di atas, maka pencarian atas faktor penyebab kemiskinan dan strategi
bertahan hidup dari pemulung independen (Ibu Slamet) menjadi menarik untuk
diteliti.
1.2 Perumusan Masalah
Berpijak pada standing point yang telah diuraikan pada awal tulisan ini, di
mana penelitian ini berupaya melacak “faktor penyebab kemiskinan dan strategi
bertahan hidup” dari kaum miskin kota (pemulung), maka dua pertanyaan mendasar
yang kemudian diposisikan sekaligus menjadi rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1.
Faktor apa yang
menyebabkan keluarga Ibu Slamet menjadi miskin?
2.
Situasi sosial
apa yang membuat keluarga Ibu Slamet tetap bertahan hidup?
BAB II
KEMISKINAN DALAM RANAH KONSEP DAN FAKTA
Terminologi kemiskinan di antara banyak
pihak sangatlah beraneka ragam dalam pendefinisiannya, mulai dari sekadar
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan,
pendidikan, kesehatan, dll), hingga pengertian yang lebih luas yang memasukan
komponen-komponen sosial, politik, ekonomi, bahkan moral.
Dalam keberagaman dan keluasan
teorisasi kemiskinan seperti itulah, maka dalam penelitian ini, terminologi
kemiskinan oleh peneliti secara spesifik digambarkan sebagai ketidakmampuan
seseorang manusia dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya, atau dalam istilah Mubyarto
sebagaimana dikutip oleh Listyaningsih :
“Penduduk miskin tidak berdaya
karena mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karena
struktur sosial ekonomi tidak membuka
peluang orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal”.
Tidak jauh berbeda dalam nalar seperti ini, Faturachman, menyatakan bahwa orang menjadi miskin karena
terperangkap dalam keadaan ketidakberuntungan situasi .
Berangkat dari konsepsi kemiskinan
spesifik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan penduduk miskin
dalam memenuhi kebutuhan dasar disebabkan oleh tidak adanya aset-aset produktif
yang dimiliki seseorang, dan karenanya ia selalu dan akan tetap berada dalam
ketidakberdayaan dan ketidakberuntungan situasi. Beberapa pertanyaan
menggelitik yang kemudian muncul adalah, apakah kehidupan keluarga ibu Slamet
berada dalam sistuasi tersebut, apa penyebabnya dan bagaimana menjalani
kehidupan sehari-hari?
Selanjutnya, kegiatan penelusuran dalam
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka deskripsi
atas data, informasi dan fakta-fakta kemiskinan yang ditemui dalam penelitian
ini, akan dikerangkai dengan teori-teori sosial tentang kemiskinan, serta
perspektif-perspektif tertentu yang sekiranya disebut baru, sehingga hasil
penelitian ini akan menjadi layak sebagai sebuah penelitian ilmiah .
2.1
Deskripsi Obyek Studi
Menemukan keberadaan orang-orang yang
dikategorikan miskin di Kota Yogyakarta tidaklah sulit, karena kota dengan
penduduknya yang berjumlah 470.448, 19,09% di antaranya dikategorikan sebagai
penduduk miskin. Terdapat setidaknya tiga ciri khas yang paling cepat untuk
memastikan siapa orang miskin
adalah dilihat
dari penampilan lahiriah (maaf, berpakaian kotor dan dekil), sedang berada di
sebuah ruang yang diindikasi sebagai area kumuh, dan bekerja di luar sektor
formal dan informal.
Identitas seperti inilah membuat tim
peneliti, pada sebuah hari menjelang siang, atau tepatnya tanggal 26 Desember 2012, pukul 11.20 WIB, untuk pertama
kalinya bertemu dengan Ibu Slamet, seorang ibu umur paruh baya, berpenampilan
sangat sederhana yang saat itu sedang mengais barang-barang bekas pada sebuah
TPS di Jln. HOS Cokroaminoto No. 162 Kelurahan Tegalrejo Kota
Yogyakarta.
Wawancara singkat pun dilakukan saat
itu juga. Tanpa harus berlama-lama, pertanyaan seputar besarnya pendapatan yang
diperoleh Ibu Slamet setiap hari dari hasil kerjanya pun disampaikan, disusul
dengan beberapa pertanyaan lanjutan. Setelah mendengar jawaban-jawabannya atas
beberapa pertanyaan pengantar tadi, maka untuk sementara, pada saat itu juga
tim peneliti dengan teori dan indikator kemiskinan yang dimiliki, berkesimpulan
bahwa Ibu Slamet dapat dikategorikan sebagai ORANG MISKIN.
Profil Kemiskinan Obyek Studi
Melalui dokumen resmi yang menjelaskan
identitas seseorang sebagai warga negara, yaitu KTP, Ibu Slamet diketahui
memiliki nama WALINAH, lahir di Klaten, 31 Desember 1961. Bersama
suaminya bapak Slamet yang umurnya setahun lebih tua dan anak semata wayangnya
Bayu yang dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1996 (kini murid kelas 1 SMP 6
Muhammadyah), mereka tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana dan terkesan
kumuh yang beralamat di Dusun Ngalik Sudagaran Jln. HOS Cokroaminoto RT 036/RW
070 Kelurahan Tegalrejo Kecamatan Tegalrejo Kota Yogyakarta. Rumah yang mereka
tempati ternyata dipenuhsesaki oleh barang-barang kategori sampah, tidak saja
di luar rumah tetapi juga di seluruh ruangan rumah yang mereka tempati. Satu hal pasti
adalah, aroma kurang sedap segera diindrai melalui hidung setiap manusia yang
berada di dan sekitar rumah ini. Rumah ini berada tepat di pinggiran rel
kereta api. Karena itu suara bising mesin kereta selalu terdengar
setiap 5-10 menit setiap hari. Di pemukiman kumuh (slum area) pinggiran
rel kereta api daerah Tegalrejo inilah, mereka menjalani kehidupan sehari-hari,
dari pagi hingga malam hari dan seterusnya mengikuti irama kerasnya kehidupan
kota.
Bapak Slamet yang asli dari Kabupaten
Boyolali, ternyata seorang suami yang mengalami kondisi fisik yang tidak
sempurna. Ia seorang yang menderita kelumpuhan di bagian kedua kakinya sejak
masih duduk di bangku SD kelas 3. Karena sakit ini pulalah yang membuat bapak
Slamet tidak bisa melanjutkan pendidikan dasarnya. Berkaitan dengan pendidikan
formal, nasib bapak Slamet ternyata masih sedikit lebih baik dibandingkan ibu
Slamet. Menurut pengakuannya, Ibu Slamet tidak pernah mengenyam pendidikan
formal, karena ketidaksanggupan orang tuanya dalam membiayai pendidikan.
Dengan kondisi fisik yang demikian
inilah, bapak Slamet tidak bisa berbuat banyak untuk menafkahi kedua orang yang
sangat ia cintai, yakni istri dan anaknya semata wayang. Yang menarik dalam
situasi inilah adalah, ibu Slamet kemudian ditakdirkan untuk berperan
sebagai pencari nafkah tunggal.
Ketiga ciri khas yang latah sebagaimana
diuraikan di atas, dan mencermati fakta sosial kemanusiaan yang sedang terjadi
dan dialami oleh Ibu Slamet dan keluarganya, baik tingkat pendidikan,
keterampilan dan keahlian serta rumah yang dihuni, sebenarnya oleh Emil Salim dapat diindentifikasi
sebagai keluarga miskin. Menurutnya, kemiskinan ditandai oleh beberapa
indikator, tiga di antaranya yaitu :
1) Tingkat
pendidikan yang rendah;
2) Banyak yang
hidup di kota yang berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan, maka;
3) Kebanyakan
bermukim dan tinggal di daerah perkampungan yang miskin dan kumuh/kotor (slum
area).
Mengapa Harus ke Yogya
Untuk menjelaskan mengapa Bapak Slamet
memilih hijrah ke Yogyakarta ketimbang tetap tinggal di Boyolali, dan mengapa
seorang perempuan muda si Walinah memutuskan pergi ke Yogyakarta ketimbang
hidup bersama keluarganya di Klaten, rasanya sulit untuk dimengerti.
Mengapa?
Karena, dalam kondisi fisik yang demikian memprihatinkan (lumpuh), ± 20 tahun
yang lalu ia memutuskan untuk berangkat ke Yogya, dengan satu alasan tunggal : merubah nasib! Mengapa? Karena
orangtuanya hanya memiliki sebidang tanah berukuran
± 1000m² - dalam kategori
tandus – hanya cocok ditanami jagung dan tembakau – hasil produksinya tidak
mencukupi untuk menghidupi 6 orang anggota keluarga – distribusi pemanfaatan
dipastikan tidak memuaskan. Karena itu, dalam rangka mempersempit
ketimpangan distribusi pemanfaatan aset produktif (tanah) itulah, bapak Slamet
mencoba mencari peruntungan hidup di Yogyakarta.
Apa yang dikerjakan Bapak Slamet saat
pertama kalinya tiba di Yogyakarta? Menurut penuturannya, ”karena tidak
memiliki keahlian dan keterampilan serta memiliki kondisi fisik yang tidak
memungkinkan untuk bekerja di sektor informal, apalagi formal, maka ia lebih
memilih berjualan permen, rokok, minuman kemasan, dll (milik majikan tentu
saja) di sekitar tempat-tempat hiburan orang kota”. Bisa dibayangkan berapa
penghasilan yang diperoleh dalam sehari.
Sementara itu, alasan Ibu Slamet
memutuskan berangkat ke Yogyakarta tidak hanya karena diajak teman
sekampungnya, yang katanya di Yogyakarta yang mereka sebut ”kota” itu banyak
tersedia lapangan kerja, tetapi di balik itu ternyata terdapat satu alasan yang
sifatnya sangat pribadi mengapa ia ”lari” ke Yogyakarta. Pada awalnya alasan
pribadi ini tidak mau disampaikan kepada peneliti, tetapi tim peneliti tidak
putus asa dan mencara teknik lain sehingga ibu Slamet pada akhirnya mau
bercerita bahwa ia pada saat itu ingin dijodohkan dengan laki-laki yang tidak
disukai. Alasan inilah yang menjadi pendukung mengapa ibu Slamet nekat mengadu
nasib ke kota Yogyakarta. Walau demikian, orangtua si Walinah ini juga tidak
memiliki aset produksi yang dapat diandalkan, sehingga pilihan untuk menjadi
penjual makanan angkringan (lagi-lagi milik majikan) di kota yang
bernama Ngayogyakarta Hadiningrat
itu pun dilakukan hari demi hari dan berakhir di sebuah pilihan baru menjadi
seorang Pemulung !!!
Inilah fakta, mengapa keterbatasan
sumber daya atau faktor produksi, dan situasi keberadaan orang miskin dijadikan
Emil Salim sebagai sebuah
indikator kemiskinan. Menurutnya, dua ciri berikut dikategorikan sebagai
indikator kemiskinan, yaitu : ”1) Umumnya mereka tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah
yang cukup, modal dan keterampilan, 2) Kebanyakan dari mereka tinggal di desa”.
Terhadap situasi yang digambarkan Emil
Salim, seorang pakar ilmu sosial bahkan menegaskan bahwa, kemiskinan
(sebagaimana juga yang dihadapi oleh keluarga ini) disebabkan oleh beberapa hal
Pekerja Tunggal
Seiring perjalanan waktu, Bapak Slamet
pun berkenalan dengan seorang janda mudah (Walinah-dulu pernah menikah dan
mempunyai 2 orang anak) layaknya seperti manusia normal lainnya. Dan pada tahun
1992, mereka kemudian menikah, tentu saja tanpa pesta, tanpa musik dan tanpa
dangdutan. Mulanya, kedua pasang manusia ini terus saja bekerja. Ibu Slamet
tetap saja bekerja sebagai penjual makanan ”angkringan”, dan Bapak Slamet tetap
bekerja sebagai penjual permen, rokok dan minuman kemasan di sekitar tempat
hiburan.
Beberapa tahun kemudian, seiring
kondisi fisik Bapak Slamet yang tidak saja tetap lumpuh tetapi juga usianya
semakin tua, maka bapak Slamet ”dipensiunkan” lebih awal, dan karena Ibu Slamet
masih memiliki sisa tenaga yang bisa diandalkan maka ia terus saja bekerja dan
sekaligus sebagai ”pekerja tunggal”. Kini, ia menjadi seorang
Pemulung,...memulung setiap sampah yang layak dijual untuk hidup dan kehidupan
ia, suami dan anaknya Bayu yang cukup ganteng.
Setiap pagi, ketika orang lain masih
tidur lelap, ibu Slamet harus bangun lebih awal untuk menyiapkan makan pagi
”seadanya” bagi Bayu ananknya yang akan ke sekolah. Setelah itu, sekitar pukul
05.30 WIB, ia berangkat menuju ”tempat kerjanya” karena pada jam-jam inilah,
orang-orang atau Dinas Kebersihan Kota telah membuang sampah di TPS-nya Ibu
Slamet. Ia mulai memilih, memilah dan kemudian memungutnya untuk kemudian
dikantongi sesuai jenis sampah. Rutinitas ini ia lakukan sampai pukul 14.00
WIB. Ia kemudian dengan tenaga yang tersisa membawa pulang ”barang-barang
kebanggaannya” ke rumah sebelum kemudian dipilah dan dikantongi kembali oleh
suaminya sambil menunggu kapan orang datang untuk membelinya.
Pendapatan
Besarnya pendapatan dari kerja keras
tanpa kenal lelah yang dilakukan Ibu Slamet selama ± 8 jam setiap hari, hanya
sebesar Rp.10.000,- (itupun untung-untungan). Jika sebulan penuh Ibu
Slamet melakukan pekerjaan ini maka dipastikan Rp. 300.000,- bakal
dikantonginya untuk kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan sang
anak. Mungkinkah itu terwujud?
Menurut Ibu dan Bapak Slamet,
penghasilan yang relatif kecil ini dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga
cukup untuk membiayai kehidupan mereka selama sebulan.
BAB III
FAKTOR PENYEBAB DAN STRATEGI SURVIVAL
Standing point dari penelitian ini sebagaimana
disampaikan pada bab I (latar belakang), maka berdasarkan data dan informasi
yang diperoleh, yang telah dipaparkan pada bab II sebelumnya, maka pada
bab ini akan dianalisis faktor penyebab kemiskinan dan strategi yang dilakukan
oleh Ibu Slamet dan keluarganya agar tetap bertahan hidup.
3.1
Fakktor Penyebab
Penyebab kemiskinan dalam temuan
penelitian ini sangat berkaitan dengan aspek struktural, kultural dan natural
(tentunya dengan kedalaman dan keluasan yang berbeda). Berdasarkan penelusuran
literatur, menurut Darwin
setidaknya terdapat empat faktor penyebab kemiskinan :
Pertama, faktor budaya (cultural
factor), di mana penjelasan mengapa miskin tidak dicari dari luar,
melainkan dari dalam diri orang atau masyarakat miskin sendiri
sebagai pihak yang tertuduh sebagai penyebabnya. Penjelasan ini diangkat dari
perspektif kalangan konservatif di mana orang menjadi miskin karena jebakan
budayanya sendiri yang kemudian diwariskan secara turun temurun.
Individu-individu yang ada dalam masyarakat dianggap terjebak pada
kebiasaan-kebiasaan hidup berikut nilai-nilai sosial dalam masyarakat di mana
ia/mereka berada.
Kedua; faktor
struktural (structural factor), di mana orang atau kelompok masyarakat
miskin lebih disebabkan oleh berbagai kebijakan negara yang bukan saja tidak
menguntungkan melainkan juga menjadikan mereka dimiskinkan. Kemiskinan
struktural juga dapat merupakan produk dari sistem sosial, ekonomi dan politik
yang hegemonis dan eksploitatif. Sistem ekonomi pasar yang tidak terkendali
bisa memarginalkan kelompok miskin, karena penguasaan aset-aset ekonomi oleh
segelintir elit ekonomi.
Ketiga, faktor alam (natural
factor). Penyebab atau latar belakang dari adanya kemiskinan jenis ini
diperoleh dari pendekatan fisik dan ekologi (physical and ecological
explanation) dan pendekatan yang menyalahkan individu atau orang miskin (individual
blame approach). Setidaknya tiga jenis yang tergolong sebagai penyebab yang
alamiah ini, yaitu; 1) kondisi alam yang kering, tandus dan tidak memiliki
sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi, keterisolasian wilayah
pemukiman penduduk, 2) bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi dan wabah
penyakit baik menyerang manusia maupun sumber mata pencaharian (ternak dan
tanaman), 3) kondisi fisik manusia baik berupa bawaan sejak lahir maupun
pengaruh degenerasi yang menjadikan seseorang tidak memiliki kemampuan untuk
bekerja secara baik.
Keempat; konflik sosial
politik atau perang. Instabilitas sosial dan politik berpengaruh secara
signifikan terhadap menurunnya produktivitas masyarakat.
Jika dikaitkan dengan penelitian ini,
aspek struktural berkaitan dengan kondisi perekonomian bangsa yang saat ini
masih didera krisis, diduga sebagai salah satu faktor penyebab mengapa Ibu
Slamet tidak mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak. Pada saat yang
sama, negara belum mampu membiayai dan menyediakan kebutuhan dasar rakyatnya
secara murah, mudah dan gratis. Yang bisa dilakukan oleh negara saat ini adalah
meluncurkan program-program pembangunan yang bersifat karitas (charity)
seperti BLT, beras raskin dan lain-lain, namun ironisnya adalah bantuan yang
diterima oleh keluarga miskin termasuk Ibu Slamet, tidak cukup untuk membantu
mereka keluar dari ruang-ruang kemiskinan.
”... beras raskin sangat membantu kami mas,
tetapi nggak cukup? Sebulan kami hanya dapat jatah beras raskin 7 kg. Harsunya kan 30
kg untuk 3 orang dalam sebulan mas...”(Ibu Slamet)
Sementara itu, dilihat dari aspek
kultural, tingkat pendidikan yang rendah membuat keluarga ini tidak memiliki
keahlian dan keterampilan yang memadai untuk mencari pekerjaan dan
memperoleh pendapatan yang lebih baik dan layak. Akar masalah mengapa ibu
Slamet dan bapak Slamet tidak mengenyam pendidikan formal secara layak, karena
ketiadaan sumber daya produktif (tanah dan modal) yang dimiliki oleh orang tua
mereka di Klaten maupun Boyolali. Disamping itu adanya pandangan masyarakat
tradisional yang masih melekat kuat di pedesaan termasuk dalam keluarga bapak
Slamet menambah kompleksnya permasalahan yang ada. Misalnya dari pemaparan
diatas dapat diketahui bawa Bapak Slamet terdiri dari enam bersaudara, dengan
sumber daya yang terbatas yang dimiliki oleh orang tua Bapak Slamet menyebabkan
ketidakmampuan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan keluarga
tersebut. Akibatnya jika sebelumnya sumber produksi dalam hal ini tanah yang
dimiliki oleh orang tua Bapak Slamet mampu memenuhi kebutuhan menjadi tidak
lagi dapat memenuhi kebutuhan dengan bertambahnya jumlah keluarga tanpa adanya
perhitungan yang matang terkait kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya. Asumsi
ini bisa jadi berakar dari adanya semacam pameo yang berkembang di masyarakat
tradisional khususnya di pedesaan yang berbunyi ” banyak anak banyak
rezeki ”. Dampak dari masalah ini tentu saja akan mempengaruhi pola pikir
mereka terhadap dinamika kehidupan ke depan. Satu hal yang bisa disebutkan
dalam laporan penelitian ini adalah bahwa, terdapat kecenderungan untuk selalu
memandang kota sebagai tempat yang menjanjikan bagi perbaikan hidup, padahal
sebaliknya kota dalam banyak hal membuat orang hidup menderita.
”... ya di kota kan banyak lapangan kerja mas, lagian kami
tidak memiliki apa-apa di desa, miskin!. Saya mau kerja apa saja mas yang
penting halal, saya dulu jualan permen, rokok di tempat judi” (Bapak Slamet)
Sekilas terlihat bahwa, pola pikir
keluarga ini sangat rasional dalam memandang kota. Kota sebagaimana diketahui
semua orang termasuk keluarga ini, merupakan pusat-pusat pembangunan dan karena
itu ia menyediakan berbagai peluang kerja. Namun demikian, keseluruhan peluang
kerja yang mampu membuat seseorang untuk hidup layak hanyalah sektor-sektor
formal dan informal yang mensyaratkan pekerjanya harus memiliki keahlian dan
keterampilan yang memadai dengan ijazah pendidikan yang ditamatkan sebagai
ukuran. Sedangkan bagi mereka yang tidak termasuk dalam kategori ini akan
dihadapkan pada pilihan ”pulang ke desa atau tetap bertahan di kota”. Itulah
pesan sesungguhnya dari sebuah syarat untuk hidup di kota kapitalis.
Ini berarti, dilema baru akan muncul.
Bagi ibu Slamet dan bapak Slamet, pulang ke desa berarti podo wae karena
mereka tidak memiliki sumber daya produktif, dan kalau tetap bertahan hidup di
kota (Yogyakarta) berarti siap ”bertarung” dengan dinamika kehidupan kota yang
keras. Alhamdulilah keluarga ini terkesan mampu menghadapi dinamika kota
dimaksud walau mereka terkesan pasrah pada keadaan. Kepasrahan ini lagi-lagi
diduga terjadi karena mereka tidak mempunyai pilihan lain selain bekerja
sebagai pemulung.
Sementara itu, dari segi penguasaan
sumber daya produktif (aspek natural), keluarga ini merupakan kaum migran yang
di desa asalnya tidak memiliki aset produksi (tanah, sawah) yang diandalkan
untuk membuat betah tinggal di desa.
”...di desa kami hanya punya sebidang tanah ladang yang
tidak subur mas, hanya ditanami palawija dan tembako...tidak cukup untuk kami
mas, keluarga kami 6 orang...saya ke jogya karena masalah itu mas...” (Bapak Slamet)
3.2
Strategi Bertahan Hidup
Sebagaimana diuraikan pada bagian
terdahulu bahwa, dalam melakukan pengumpulan barang-barang bekas kategori
sampah, Ibu Slamet memperoleh penghasilan sebesar Rp. 10.000,- per hari atau
Rp. 300.000,- per bulan. Angka uang yang diperoleh ini sesungguhnya sangat jauh
dari sebuah kepantasan untuk mengelola kehidupan seseorang. Setelah dilacak
lebih jauh, ternyata ada beberapa ”upaya
luar biasa” yang dilakukan oleh keluraga Ibu Slamet untuk mempertahankan
hidup, dan beberapa situasi sosial yang dapat diidentifikasi sebagai ”modal sosial” yang membuat
keluarga ini tetap bertahan hidup :
Upaya Luar Biasa :
a) Pola pengeluaran; persentase
pengeluaran rumah tangga lebih diarahkan pada kebutuhan pangan.Menurut
penuturan mereka, sejak bulan Juli 2008, SPP sang anak sebesar Rp. 95.000,-
serta uang seragam, uang gedung dan uang buku sebesar Rp. 1.000.000,- belum
lunas dibayar, baru Rp. 400.000,- yang sudah dibayar, sementara Rp. 600.000,- belum
bisa dibayar karena belum memiliki uang yang cukup. “Gaji” Ibu Slamet ternyata
lebih diutamakan untuk membiayai kebutuhan akan pangan keluarga.
Yang
menarik dari kondisi ini adalah keluarga ini ternyata menerapkan filosofi hidup
yang oleh James S. Scoot dalam
bukunya Moral Ekonomi Petani, disebutnya sebagai “safety first philosophy”.
Artinya bahwa, ketika dihadapkan pada dua pilihan hidup yang sama-sama berat,
(pangan dan pendidikan) maka tampaknya kelurga ini lebih mendahulukan kebutuhan
atas pangan ketimbang biaya pendidikan, karena jika tidak dipenuhi maka
dampaknya akan sulit dibayar dengan apapun, mulai dari sakit sampai pada
hal-hal eksktrim ”mati kelaparan”.
b) Pola konsumsi;
porsi konsumsi makanan disesuaikan dengan pangan yang tersedia, yang penting
kenyang (makan 1-2x).
Setiap
bulan,
sebagaimana keluarga miskin lainnya, keluarga ini mendapat jatah 7 kg beras
raskin. Tentu tidak cukup untuk dikonsumsi bagi 3 orang anggota keluarga.
Bahkan pasca Lebaran 2008 yang lalu, keluarga ini kedatangan seorang keponakan
dari Klaten dan saat ini menumpang tinggal bersama mereka, (katanya mencari
pekerjaan di Yogyakarta) . Idealnya, dibutuhkan 30 kg beras per bulan untuk
dikonsumsi 4 orang. Tetapi karena atas nama kemiskinan, jatah beras raskin ini
diupayakan untuk ”menjadi pas” dikonsumsi, melalui pola makan yang tidak wajar,
sehari hanya dua kali makan bahkan hanya sekali pada siang menjelang sore hari.
c) Bapak Slamet,
terkadang mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup dari keahliannya; katanya bisa
memijat, menerawang nasib dan masa depan orang. Terkadang pula ia mendapatkan
”uang belas kasihan” layaknya pengemis (tapi ia bukan seorang pengemis) dari
orang-orang ketika ia bepergian ke atau kembali pulang dari rumah kerabat di
dalam Kota Yogyakarta.
Modal Sosial yang Mendukung :
a) Bantuan beras,
pakaian bekas, kue, dll dari sahabat, kerabat, rumah singgah (gereja) dan
orang-orang tertentu. Pernah di sebuah kesempatan bertemu dengan keluarga ini,
tampak terlihat dua buah kantong ukuran sedang berisi beras di dalam rumah,
yang katanya diberikan oleh orang-orang yang prihatin atas nasib mereka dan
juga dari rumah singgah.
b) Dispensasi biaya
pendidikan dari sekolah. Andai saja pihak sekolah (SMP 6 Muhamadiyah) tetap
memaksa keluarga ini melunasi uang sekolahnya Bayu sesuai waktu yang telah
ditentukan, maka mungkin saat ini Bayu tidak lagi sekolah.
c) Kursus bahasa
inggris gratis dari Rumah Singgah. Rumah Singgah ini merupakan sebuah arena
sosial yang dimiliki dan dikelola oleh Gereja Kristen Tabernakel di Jln. HOS
Cokroaminoto Tegalrejo. Pada tingkat ini, sesungguhnya gereja sedang tampil,
bukan sebagai institusi keagamaan tetapi sebagai institusi sosial yang berpihak
pada orang-orang kecil, miskin dan belum sempat dibiayai oleh negara, tanpa
melihat latar belakangnya. Mungkin di tempat lain, masih terdapat rumah
singgah-rumah singga lainnya yang dikelolah oleh institusi keagamaan lainnya,
LSM, atau orang per orang untuk ”menghidupi” orang yang bernasib sama dengan
keluarga Ibu Slamet.
d) Dispensasi
pelunasan utang-piutang
Konon, uang sebesar Rp. 400.000,- untuk mencicil uang
sekolah anaknya (Bayu), keluarga Slamet meminjamnya dari teman, dengan
kesepakatan yang tidak tertulis, akan dilunasi kelak jika sudah mempunyai uang.
Kondisi ini mau menjelaskan bahwa di tengah pola relasi masyarakat yang
individualisitik di kota, ternyata masih ada rasa saling percaya di antara
mereka yang sama-sama hidup menderita. Kemungkinan ini bisa terjadi karena
selain faktor pertemanan, diduga terdapat sebuah perasaan kolektif untuk saling
berbagi (sama-sama susah dan sama-sama senang atau sedikit menjurus ekstrim
”one for all and all for one”), di antara para kaum miskin. Semangat mereka
sebagai sebuah entitas yang terpinggirkan mendorong mereka untuk saling
menolong.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
Mencermati potret kemiskinan yang ada
di negeri ini, maka satu hal pasti yang bisa disimpulkan adalah, bahwa ternyata
negara belum memiliki kapasitas teknis-manajerial yang memadai untuk mengelolah
potensi alam negeri yang katanya memadai dan berlimpah ini, untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Fakta pembenarnya adalah, angka kemiskinan tetap saja
meningkat dari tahun ke tahun, walau di saat yang sama berbagai program berikut
triliunan dana telah digelontorkan untuk membiayai atas apa yang disebut proyek
kemiskinan. Salah satu dampak dari situasi ini adalah, melemahnya kualitas
sumberdaya pada sebagian besar manusia Indonesia, dan karenanya membuat mereka
menjadi tidak mampu menggoverning dirinya dalam mengarungi situasi sulit dari
dekade-dekade pembangunan sebelumnya hingga kini dan berakhir entah sampai
kapan.
Berangkat dari data dan fakta
kemiskinan berikut analisis kemiskinan yang diuraikan sebelumnya, serta ironi kemiskinan
yang disebakan oleh kebijakan pembangunan sebagimana disebutkan pada alinea
pertama bab ini, maka beberapa kesimpulan penelitian dapat diambil untuk
menjawab pertanyaan penelitian (rumusan masalah), sebagai berikut :
Kemiskinan yang dialami keluarga ibu
Slamet pada dasarnya lebih disebabkan oleh faktor struktural, kultural dan
natural. Secara struktural;
kemiskinan yang dialami oleh keluarga Slamet merupakan akibat terperangkap
dalam kapitalisme kota. Hal ini sejalan dengan pernyataan Weber bahwa,
”Kapitalisme sekarang, yang telah mendominasi kehidupan
perekonomian, mendidik dan memilih insan-insan ekonomi yang dibutuhkannya
melalui suatu proses survival of the fittest dalam bidang ekonomi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa keluarga
Slamet :
Rasional dalam
memandang kota sebagai tempat yang menjanjikan bagi perbaikan hidup, tetapi
rendahnya keahlian dan keterampilan membuat mereka tidak terserap pada peluang
kerja di kota, baik sektor formal dan informal. Akar dasar dari masalah ini
sebenarnya adalah proses pelemahan
kualitas sumberdaya manusia yang secara tidak sengaja namun sistematis sedang
dilakukan oleh negara melalui kebijakan pembangunannya yang tidak pro rakyat
miskin.
Tidak sempatnya
mereka untuk hadir dalam ruang-ruang pembelajaran formal, membuat
keluarga ini tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengakses dan
memfilter dinamika pengaruh dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan
informasi. Pada akhirnya mereka terjebak pada sebuah kondisi negatif (kota yang
”keras dan individualistik”), yang pada awalnya mereka duga sebagai sesuatu
yang mencerahkan (kota yang ”menjanjikan kehidupan lebih baik”).
Dari segi kultural,
keluarga ini dinilai :
Selalu pasrah
pada keadaan yang dihadapi dan tidak berusaha untuk hidup lebih baik.
Pertanyaan mengapa pasrah dapat dilacak melalui jawaban, ”...ya mau gimana
lagi mas, semuanya sudah diatur oleh Yang Di Atas, walau hidup terus begini
kami gak mau pulang kampung...sama aja mas, di kampung juga gak punya apa-apa
kok...”. Jawaban ini muncul ketika ditanyakan secara berulang-ulang pada
waktu yang berbeda ditanyai soal jumlah pendapatan (Rp. 10.000,-/hari) yang
diduga tidak dapat membiayai sejumlah kebutuhan dasar.
Sedangkan secara natural;
Keluarga ini merupakan
kaum migran yang di desa asalnya tidak saja memiliki aset produksi (tanah,
sawah) yang terbatas, tetapi juga terjadi ketimpangan distribusi dan kompetisi
pemanfaatan atas sumberdaya produksi yang terbatas itu (satu kapling tanah
seluas ± 1000m² dikuasai dan dikelolah oleh 6 orang anggota inti keluarga (2
orang tua, 4 anak), belum termasuk anggota turunan dari keluarga 4 anak
tersebut). Karena itu pilihan untuk kelana ke kota dimaksudkan untuk
mempersempit ketimpangan distribusi dan kompetisi dimaksud, namun ironisnya
keadaan di kota tidak jauh lebih baik dengan keadaan di desa (Klaten dan
Boyolali).
1.
Di tengah
kemiskinan yang melilit dan tak kunjung usai entah kapan, ternyata keluarga ini
masih memiliki upaya luar biasa melalui pengaturan pola pengeluaran dan pola
konsumsi dalam rangka bertahan hidup. Mereka, setelah dilacak ternyata memiliki
skala prioritas dalam mengarungi hidup, walaupun mengorbankan kebutuhan yang
lain, yang sama-sama penting dan mendesak.
2.
Ternyata, di
tengah irama relasional kehidupan kota yang individual, masih terdapat
sekelompok orang, organisasi sosial yang masih memiliki tenggang rasa terhadap
orang-orang miskin semisal keluarga Ibu Slamet. Inilah yang disebut modal
sosial.
4.2. Rekomendasi Aksi
Beberapa rekomendasi yang dapat
digunakan untuk menanggulangi kemiskinan termasuk bagaimana membuat kehidupan
Ibu Slamet dan keluarganya menjadi lebih bermartabat, antara lain :
1)
Kebijakan
pembangunan diharapkan tidak lagi memiliki ruang constraining atau ruang
yang melemahkan potensi intelijensia dasar masyarakat dan karenanya
mengkendalai mereka dalam usaha mempertahankan hidup. Ke depan, kebijakan
pembangunan yang dirancang diharapkan lebih enabling sehingga masyarakat
lebih cerdas dalam menggoverning diri mereka menuju keadilan, kesejahteraan dan
kemakmuran. Walaupun demikian, pemerintah diharapkan untuk :
Menyediakan
program jaminan sosial terutama kesehatan dan pendidikan secara permanen
terhadap keluarga ini dan keluarga atau penduduk miskin lainnya. Bukankah dalam
konstitusi telah tertulis bahwa negara wajib membiayai fakir miskin dan anak
terlantar?
Kebijakan
karitas juga masih dibutuhkan, saat kondisi perekonomian bangsa yang belum
beranjak dari krisis. Namun kebijakan tersebut harus mampu membuat masyarakat
lebih berdaya.
2)
Keterbatasan
sumberdaya/aset produktif yang dimiliki, harusnya bisa diatasi oleh negara
melalui distribusi pemanfaatan yang adil bagi masyarakat miskin. Eksploitasi
dan hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa (negara dan pemilik modal) di
berbagai daerah, tidak saja akan semakin memiskinkan masyarakat.
3)
Intervensi
kebijakan terhadap penduduk miskin harus terintegrasi dalam suatu program
pemberdayaan yang terpadu. Selama
ini intervensi kebijakan lebih bersifat fisik, dan melupakan atas apa yang
disebut penyuluhan, informasi dan komunikasi pembangunan.
4)
Kebijakan harus pro rakyat miskin
(responsif dan akomodatif terhadap apa yang mereka butuhkan, libatkan mereka
dalam pembuatan keputusan-dengar suara mereka)
5)
Membangun pusat-pusat pertumbuhan
dan kota-kota baru di daerah periferi dan daerah asal untuk membendung
urbanisasi.
6)
Menumbuhkan,
mengembangkan dan memberdayakan modal-modal sosial yang ada dalam masyarakat.
Dilema kita adalah : masyarakat merupakan suatu
kegiatan perdagangan di mana moralitas ditarik dari pasar” (Adam Smith dlm buku Filsafat untuk
Pemula)
Tetapi, Itu kata Adam Smith…!
Kita tidak sedang berada di dunia yang dimaksudkan
Smith,…kita masih memiliki modal sosial yang cukup untuk menolong mereka yang
miskin melalui banyak cara,…di sini kita punya kolekte, kita punya perpuluhan,
kita punya zakat, kita punya rumah singgah, dll.
DAFTAR PUSTAKA
·
Arifin Bety dan Cosmas Kondang, 2007, Sintesis Kemiskinan Partisipatif Kabupaten
Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kota Kupang,
Kabupaten Ngada dan Kabupaten Sikka, provinsi Nusa Tenggara Timur, PIAR,
Kupang.
·
Coernellis Lay dan Aris Arif Mundayat, Manajemen Kemiskinan, Keterbelakangan,
Ketimpangan dan Pengangguran (Modul Kuliah), S2 PLOD UGM Yogyakarta.
·
Emil Salim, dalam .. , 2004, Strategi Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Undang-undang
Keistimewaan NAD, Tesis, S2 PLOD UGM Yogyakarta.
·
Faturocman, dkk, 2007,Membangun
Gerakan Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat, Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta.
·
Max Weber, 2006, Etika
Protestan dan Spirit Kapitalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
·
Umi Listyaningsih, 2004, Dinamika
Kemiskinan di Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM
Yogyakarta dan Patnership For Economic Growth, Yogyakarta.
0 komentar:
Post a Comment