Monday 7 October 2013

pemulung dan kemiskinan

Selengkapnya di http://www.maseteguh.com/2015/11/memasang-kode-unit-iklan-adsense.html#ixzz4MoUVmb9a
PEMULUNG DAN KEMISKINAN KOTA

                                                                      Disusun Oleh :
                                                                    ezra edmund zr
(153110100)




BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang

Studi terbatas tentang kemiskinan pemulung di wilayah perkotaan Kota Yogyakarta ini, akan diarahkan dengan melihat dua hal pokok yang menjadi inti penelitian, yakni, pertama, faktor penyebab kemiskinan pemulung, dan yang kedua, strategi yang digunakan untuk bertahan hidup (internal-eksternal). Untuk menjelaskan hal ini, maka indikator kemiskinan yang akan digunakan sebagai pintu masuk dari penelitian ini adalah “tingkat penguasaan sumber daya produktif”, dengan “pekerjaan/pendapatan” sebagai proxy indikator dan berbagai nilai atau makna yang digunakan.
Studi ini juga, sesungguhnya didorong oleh semangat untuk mencari model kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sekiranya lebih tepat, untuk dikontribusikan kepada negara dalam mengatasi kemiskinan yang telah menjadi salah satu masalah paling serius, dan karenanya ia juga menjadi keprihatinan kolektif bangsa saat ini. Bagimana tidak? Berdasarkan hasil survey Badan Pusat Statistik tahun 2007, dari 230 juta penduduk Indonesia, terdapat sedikitnya 38,4 juta jiwa penduduk menyandang atas apa yang disebut “orang miskin”, dan dalam tahun 2008 ini diproyeksi menurun menjadi 38 juta jiwa. Data-data statistik ini, secara sederhana mau menjelaskan bahwa, Indonesia belum memiliki kapasitas yang memadai dalam menanggulangi kemiskinan. Padahal, berbagai program strategis telah dirancang dan dilaksanakan, serta triliunan dan telah dikucurkan untuk proyek kemiskinan ini, sebuah ironi yang sulit dihindari bukan?.
Di antara “Komunitas 38” (untuk menyebut penduduk miskin Indonesia yang berjumlah 38 juta ini), kaum pemulung menjadi bagian yang tidak terpisahkan, entah berapa jumlahnya kini. Mereka ini (baca : pemulung), umumnya hidup dan tinggal serta beraktifitas di daerah perkotaan, termasuk Kota Yogyakarta.
Sesuai definisinya, pemulung adalah orang yang memungut barang-barang bekas atau sampah tertentu untuk proses daur ulang. Bagi kalangan tertentu, pekerjaan pemulung dianggap memiliki konotasi negatif, padahal di saat yang sama, bagi sebagian orang pula, pemulung adalah pahlawan kota, mereka adalah “arsitektur-arsitektur keindahan dan kebersihan kota”. Tanpa mereka, bisa dibayangkan bagaimana kotor dan dekilnya sebuah kota yang di dalamnya bertebaran dan berseraknya sampah-sampah. Dampak dari potret  kota yang demikian ini tentu saja adalah, menjeritnya penghuni kota akibat hidup dalam ruang-ruang yang dipastikan kotor dan karenanya menjadi biang segala macam penyakit. Sebuah ironi tentu saja, karena di saat yang sama, kota terlanjur dianggap sebagai pusat peradaban umat manusia. Namun ironisnya, mereka tidak diberdayakan, mereka selalu dilupakan dalam hiruk-pikuk dan hingar-bingar proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan perkotaan.
Hari ini, keprihatinan akan potret kota dan nasib hidup pemulung sedang berlangsung di sebuah kota budaya, kota pelajar yang bernama Yogyakarta ini. Menyusuri lorong-lorong kota Yogyakarta hari ini, seperti di Kecamatan Tegalrejo, kita masih saja disuguhkan atas apa yang disebut sampah, baik berserakan maupun terlokalisir di TPS maupun TPA, dan di sana pula tampak aktifitas memungut atau mengais sampah dari orang-orang kecil yang tidak berdaya secara ekonomi yang kita sebut pemulung tadi. Tong atau bak sampah menjadi tempat mereka bersandar hidup. Tak kenal lelah, mereka terus mengais apa saja yang bagi mereka bermanfaat untuk mendapatkan uang. Dan karenanya, terik panas matahari dan guyuran hujan, bukan merupakan penghalang bagi mereka. Bagi mereka, hidup memulung atau bekerja sebagai pemulung adalah sebuah takdir yang tidak memberi pilihan lain untuk mengubah hidup dan kehidupan, karena fakta terus saja berbicara bahwa, di samping tidak memiliki keahlian (unskill), tinggal di daerah-daerah kumuh (slum area), mereka juga tidak memiliki sumber daya/asset produktif yang diandalkan, seperti tanah, modal dan upah tetap.
Pada kondisi seperti ini, mereka (pemulung seperti Ibu Slamet yang menjadi obyek studi ini, dengan penghasilan Rp. 10.000,- per hari) dengan mudah dipastikan, tidak dapat membiayai kebutuhan hidup (hak dasar) serta tidak memiliki posisi dan kapasitas yang memadai untuk memperoleh akses atas pelbagai ketersediaan barang-barang publik (apalagi barang-barang politik). Di samping itu, kontrol dan pengaruh mereka terhadap negara menjadi sangat lemah, bahkan tidak ada karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk urusan tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah, di mana dan apa tugas negara untuk mengatasi masalah ini? Apapun alasannya, negara berkewajiban menyediakan barang-barang publik untuk warga negaranya, terutama yang berkaitan dengan basic human rigths yaitu, hak atas pekerjaan dan pendapatan yang layak, pendidikan dan kesehatan yang gratis dan memadai. Di negara-negara Skandinavia semisal Norwegia, Denmark, Swiss dan Swedia, negara secara total menyediakan kebutuhan akan pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Mempertegas akan hal ini, Cornelis Lay sebagimana mengutip Paul Stretteen, mengatakan bahwa :
“...jangan-jangan kemiskinan itu harus dipahami sejauhmana kemampuan mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) seperti sandang, pangan, papan...tetapi juga...memahami kemiskinan tidak sekadar kapasitas menyediakan hal-hal yang material itu tetapi juga tentang politik”.
Pernyataan ini lagi-lagi ingin mempertegas bahwa, negara wajib membuat rakyatnya sejahtera, apapun alasannya, dan pada saat yang sama membuka akses yang memadai bagi berlangsungnya partisipasi.
Lalu, apa yang telah dilakukan negara? Sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini bahwa berbagai program strategis telah dilakukan berikut trilyunan dana telah digelontorkan untuk membiayai proyek kemiskinan ini, namun angka kemiskinan tetap saja bertambah, pengangguran semakin meningkat dan pemulung tentu saja selalu ada dan hadir di setiap kota.
Dalam konteks lokal di Kota Yogyakarta ini, sesungguhnya Pemerintah Kota melalui Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran, telah melakukan banyak hal untuk mengatasi masalah kemiskinan perkotaan (pemulung yang jauh dari hidup sejahtera), baik progran-program yang bersifat karitas (charity) seperti BLT, Raskin, dll, income generating policy, pemberdayaan, peningkatan kapasitas produksi, dan lain-lain, namun tetap saja komunitas orang miskin semakin meningkat. Beberapa kemungkinan, mengapa program-program pemberdayaan masyarakat atau penanggulangan kemiskinan seringkali gagal.
Berangkat dari realitas kemiskinan pemulung di Kota Yogyakarta dan ironi kebijakan yang utopis sebagaimana diuraikan di atas, maka pencarian atas faktor penyebab kemiskinan dan strategi bertahan hidup dari pemulung independen (Ibu Slamet) menjadi menarik untuk diteliti.
1.2     Perumusan Masalah
Berpijak pada standing point yang telah diuraikan pada awal tulisan ini, di mana penelitian ini berupaya melacak “faktor penyebab kemiskinan dan strategi bertahan hidup” dari kaum miskin kota (pemulung), maka dua pertanyaan mendasar yang kemudian diposisikan sekaligus menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.    Faktor apa yang menyebabkan keluarga Ibu Slamet menjadi miskin?
2.    Situasi sosial apa yang membuat keluarga Ibu Slamet tetap bertahan hidup?

BAB II
KEMISKINAN DALAM RANAH KONSEP DAN FAKTA

Terminologi kemiskinan di antara banyak pihak sangatlah beraneka ragam dalam pendefinisiannya, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll), hingga pengertian yang lebih luas yang memasukan komponen-komponen sosial, politik, ekonomi, bahkan moral.
Dalam keberagaman dan keluasan teorisasi kemiskinan seperti itulah, maka dalam penelitian ini, terminologi kemiskinan oleh peneliti secara spesifik digambarkan sebagai ketidakmampuan seseorang manusia  dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, atau dalam istilah Mubyarto sebagaimana dikutip oleh Listyaningsih :
“Penduduk miskin tidak berdaya karena mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karena struktur sosial ekonomi tidak  membuka peluang orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal”.
Tidak jauh berbeda dalam nalar seperti ini, Faturachman,  menyatakan bahwa orang menjadi miskin karena terperangkap dalam keadaan ketidakberuntungan situasi .
Berangkat dari konsepsi kemiskinan spesifik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan penduduk miskin dalam memenuhi kebutuhan dasar disebabkan oleh tidak adanya aset-aset produktif yang dimiliki seseorang, dan karenanya ia selalu dan akan tetap berada dalam ketidakberdayaan dan ketidakberuntungan situasi. Beberapa pertanyaan menggelitik yang kemudian muncul adalah, apakah kehidupan keluarga ibu Slamet berada dalam sistuasi tersebut, apa penyebabnya dan bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari?
Selanjutnya, kegiatan penelusuran dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka deskripsi atas data, informasi dan fakta-fakta kemiskinan yang ditemui dalam penelitian ini, akan dikerangkai dengan teori-teori sosial tentang kemiskinan, serta perspektif-perspektif tertentu yang sekiranya disebut baru, sehingga hasil penelitian ini akan menjadi layak sebagai sebuah penelitian ilmiah .




2.1     Deskripsi Obyek Studi
Menemukan keberadaan orang-orang yang dikategorikan miskin di Kota Yogyakarta tidaklah sulit, karena kota dengan penduduknya yang berjumlah 470.448, 19,09% di antaranya dikategorikan sebagai penduduk miskin. Terdapat setidaknya tiga ciri khas yang paling cepat untuk memastikan siapa orang miskin adalah dilihat dari penampilan lahiriah (maaf, berpakaian kotor dan dekil), sedang berada di sebuah ruang yang diindikasi sebagai area kumuh, dan bekerja di luar sektor formal dan informal.
Identitas seperti inilah membuat tim peneliti, pada sebuah hari menjelang siang, atau tepatnya tanggal 26 Desember 2012, pukul 11.20 WIB, untuk pertama kalinya bertemu dengan Ibu Slamet, seorang ibu umur paruh baya, berpenampilan sangat sederhana yang saat itu sedang mengais barang-barang bekas pada sebuah TPS di Jln. HOS Cokroaminoto No. 162 Kelurahan Tegalrejo Kota Yogyakarta.
Wawancara singkat pun dilakukan saat itu juga. Tanpa harus berlama-lama, pertanyaan seputar besarnya pendapatan yang diperoleh Ibu Slamet setiap hari dari hasil kerjanya pun disampaikan, disusul dengan beberapa pertanyaan lanjutan. Setelah mendengar jawaban-jawabannya atas beberapa pertanyaan pengantar tadi, maka untuk sementara, pada saat itu juga tim peneliti dengan teori dan indikator kemiskinan yang dimiliki, berkesimpulan bahwa Ibu Slamet dapat dikategorikan sebagai ORANG MISKIN.

Profil Kemiskinan Obyek Studi
Melalui dokumen resmi yang menjelaskan identitas seseorang sebagai warga negara, yaitu KTP,  Ibu Slamet diketahui memiliki  nama WALINAH, lahir di Klaten, 31 Desember 1961. Bersama suaminya bapak Slamet yang umurnya setahun lebih tua dan anak semata wayangnya Bayu yang dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1996 (kini murid kelas 1 SMP 6 Muhammadyah), mereka tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana dan terkesan kumuh yang beralamat di Dusun Ngalik Sudagaran Jln. HOS Cokroaminoto RT 036/RW 070 Kelurahan Tegalrejo Kecamatan Tegalrejo Kota Yogyakarta. Rumah yang mereka tempati ternyata dipenuhsesaki oleh barang-barang kategori sampah, tidak saja di luar rumah tetapi juga di seluruh ruangan rumah yang mereka tempati. Satu hal pasti adalah, aroma kurang sedap segera diindrai melalui hidung setiap manusia yang berada di dan sekitar rumah ini. Rumah ini berada tepat di pinggiran rel kereta api. Karena itu suara bising mesin kereta selalu terdengar setiap 5-10 menit setiap hari. Di pemukiman kumuh (slum area) pinggiran rel kereta api daerah Tegalrejo inilah, mereka menjalani kehidupan sehari-hari, dari pagi hingga malam hari dan seterusnya mengikuti irama kerasnya kehidupan kota.
Bapak Slamet yang asli dari Kabupaten Boyolali, ternyata seorang suami yang mengalami kondisi fisik yang tidak sempurna. Ia seorang yang menderita kelumpuhan di bagian kedua kakinya sejak masih duduk di bangku SD kelas 3. Karena sakit ini pulalah yang membuat bapak Slamet tidak bisa melanjutkan pendidikan dasarnya. Berkaitan dengan pendidikan formal, nasib bapak Slamet ternyata masih sedikit lebih baik dibandingkan ibu Slamet. Menurut pengakuannya, Ibu Slamet tidak pernah mengenyam pendidikan formal, karena ketidaksanggupan orang tuanya dalam membiayai pendidikan.
Dengan kondisi fisik yang demikian inilah, bapak Slamet tidak bisa berbuat banyak untuk menafkahi kedua orang yang sangat ia cintai, yakni istri dan anaknya semata wayang. Yang menarik dalam situasi inilah adalah,  ibu Slamet kemudian ditakdirkan untuk berperan sebagai pencari nafkah tunggal.
Ketiga ciri khas yang latah sebagaimana diuraikan di atas, dan mencermati fakta sosial kemanusiaan yang sedang terjadi dan dialami oleh Ibu Slamet dan keluarganya, baik tingkat pendidikan, keterampilan dan keahlian serta rumah yang dihuni, sebenarnya oleh Emil Salim dapat diindentifikasi sebagai keluarga miskin. Menurutnya, kemiskinan ditandai oleh beberapa indikator, tiga di antaranya yaitu :
1)    Tingkat pendidikan yang rendah;
2)    Banyak yang hidup di kota yang berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan, maka;
3)    Kebanyakan bermukim dan tinggal di daerah perkampungan yang miskin dan kumuh/kotor (slum area).

Mengapa Harus ke Yogya
Untuk menjelaskan mengapa Bapak Slamet memilih hijrah ke Yogyakarta ketimbang tetap tinggal di Boyolali, dan mengapa seorang perempuan muda si Walinah memutuskan pergi ke Yogyakarta ketimbang hidup bersama  keluarganya di Klaten, rasanya sulit untuk dimengerti. Mengapa? Karena, dalam kondisi fisik yang demikian memprihatinkan (lumpuh), ± 20 tahun yang lalu ia memutuskan untuk berangkat ke Yogya, dengan satu alasan tunggal : merubah nasib! Mengapa? Karena orangtuanya hanya memiliki sebidang tanah berukuran          ± 1000m² - dalam kategori tandus – hanya cocok ditanami jagung dan tembakau – hasil produksinya tidak mencukupi untuk menghidupi 6 orang anggota keluarga – distribusi pemanfaatan dipastikan tidak memuaskan. Karena itu, dalam rangka  mempersempit ketimpangan distribusi pemanfaatan aset produktif (tanah) itulah, bapak Slamet mencoba mencari peruntungan hidup di Yogyakarta.
Apa yang dikerjakan Bapak Slamet saat pertama kalinya tiba di Yogyakarta? Menurut penuturannya, ”karena tidak memiliki keahlian dan keterampilan serta memiliki kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk bekerja di sektor informal, apalagi formal, maka ia lebih memilih berjualan permen, rokok, minuman kemasan, dll (milik majikan tentu saja) di sekitar tempat-tempat hiburan orang kota”. Bisa dibayangkan berapa penghasilan yang diperoleh dalam sehari.
Sementara itu, alasan Ibu Slamet memutuskan berangkat ke Yogyakarta tidak hanya karena diajak teman sekampungnya, yang katanya di Yogyakarta yang mereka sebut ”kota” itu banyak tersedia lapangan kerja, tetapi di balik itu ternyata terdapat satu alasan yang sifatnya sangat pribadi mengapa ia ”lari” ke Yogyakarta. Pada awalnya alasan pribadi ini tidak mau disampaikan kepada peneliti, tetapi tim peneliti tidak putus asa dan mencara teknik lain sehingga ibu Slamet pada akhirnya mau bercerita bahwa ia pada saat itu ingin dijodohkan dengan laki-laki yang tidak disukai. Alasan inilah yang menjadi pendukung mengapa ibu Slamet nekat mengadu nasib ke kota Yogyakarta. Walau demikian, orangtua si Walinah ini juga tidak memiliki aset produksi yang dapat diandalkan, sehingga pilihan untuk menjadi penjual makanan angkringan (lagi-lagi milik majikan) di kota yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat itu pun dilakukan hari demi hari dan berakhir di sebuah pilihan baru menjadi seorang Pemulung !!!
Inilah fakta, mengapa keterbatasan sumber daya atau faktor produksi, dan situasi keberadaan orang miskin dijadikan Emil Salim sebagai sebuah indikator kemiskinan. Menurutnya, dua ciri berikut dikategorikan sebagai indikator kemiskinan, yaitu : ”1) Umumnya mereka tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal dan keterampilan, 2) Kebanyakan dari mereka tinggal di desa”.
Terhadap situasi yang digambarkan Emil Salim, seorang pakar ilmu sosial bahkan menegaskan bahwa, kemiskinan (sebagaimana juga yang dihadapi oleh keluarga ini) disebabkan oleh beberapa hal


Pekerja Tunggal

Seiring perjalanan waktu, Bapak Slamet pun berkenalan dengan seorang janda mudah (Walinah-dulu pernah menikah dan mempunyai 2 orang anak) layaknya seperti manusia normal lainnya. Dan pada tahun 1992, mereka kemudian menikah, tentu saja tanpa pesta, tanpa musik dan tanpa dangdutan. Mulanya, kedua pasang manusia ini terus saja bekerja. Ibu Slamet tetap saja bekerja sebagai penjual makanan ”angkringan”, dan Bapak Slamet tetap bekerja sebagai penjual permen, rokok dan minuman kemasan di sekitar tempat hiburan.
Beberapa tahun kemudian, seiring kondisi fisik Bapak Slamet yang tidak saja tetap lumpuh tetapi juga usianya semakin tua, maka bapak Slamet ”dipensiunkan” lebih awal, dan karena Ibu Slamet masih memiliki sisa tenaga yang bisa diandalkan maka ia terus saja bekerja dan sekaligus sebagai ”pekerja tunggal”. Kini, ia menjadi seorang Pemulung,...memulung setiap sampah yang layak dijual untuk hidup dan kehidupan ia, suami dan anaknya Bayu yang cukup ganteng.
Setiap pagi, ketika orang lain masih tidur lelap, ibu Slamet harus bangun lebih awal untuk menyiapkan makan pagi ”seadanya” bagi Bayu ananknya yang akan ke sekolah. Setelah itu, sekitar pukul 05.30 WIB, ia berangkat menuju ”tempat kerjanya” karena pada jam-jam inilah, orang-orang atau Dinas Kebersihan Kota telah membuang sampah di TPS-nya Ibu Slamet. Ia mulai memilih, memilah dan kemudian memungutnya untuk kemudian dikantongi sesuai jenis sampah. Rutinitas ini ia lakukan sampai pukul 14.00 WIB. Ia kemudian dengan tenaga yang tersisa membawa pulang ”barang-barang kebanggaannya” ke rumah sebelum kemudian dipilah dan dikantongi kembali oleh suaminya sambil menunggu kapan orang datang untuk membelinya.

Pendapatan
Besarnya pendapatan dari kerja keras tanpa kenal lelah yang dilakukan Ibu Slamet selama ± 8 jam setiap hari, hanya sebesar Rp.10.000,- (itupun untung-untungan). Jika sebulan penuh Ibu Slamet melakukan pekerjaan ini maka dipastikan Rp. 300.000,- bakal dikantonginya untuk kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan sang anak. Mungkinkah itu terwujud?
Menurut Ibu dan Bapak Slamet, penghasilan yang relatif kecil ini dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga cukup untuk membiayai kehidupan mereka selama sebulan.

BAB III
FAKTOR PENYEBAB DAN STRATEGI SURVIVAL

Standing point dari penelitian ini sebagaimana disampaikan pada bab I (latar belakang), maka berdasarkan data dan informasi yang  diperoleh, yang telah dipaparkan pada bab II sebelumnya, maka pada bab ini akan dianalisis faktor penyebab kemiskinan dan strategi yang dilakukan oleh Ibu Slamet dan keluarganya agar tetap bertahan hidup.

3.1     Fakktor Penyebab
Penyebab kemiskinan dalam temuan penelitian ini sangat berkaitan dengan aspek struktural, kultural dan natural (tentunya dengan kedalaman dan keluasan yang berbeda). Berdasarkan penelusuran literatur, menurut Darwin setidaknya terdapat empat faktor penyebab kemiskinan :
Pertama, faktor budaya (cultural factor), di mana penjelasan mengapa miskin tidak dicari dari luar, melainkan dari dalam diri orang atau masyarakat miskin sendiri sebagai pihak yang tertuduh sebagai penyebabnya. Penjelasan ini diangkat dari perspektif kalangan konservatif di mana orang menjadi miskin karena jebakan budayanya sendiri yang kemudian diwariskan secara turun temurun. Individu-individu yang ada dalam masyarakat dianggap terjebak pada kebiasaan-kebiasaan hidup berikut nilai-nilai sosial dalam masyarakat di mana ia/mereka berada.
Kedua; faktor struktural (structural factor), di mana orang atau kelompok masyarakat miskin lebih disebabkan oleh berbagai kebijakan negara yang bukan saja tidak menguntungkan melainkan juga menjadikan mereka dimiskinkan. Kemiskinan struktural juga dapat merupakan produk dari sistem sosial, ekonomi dan politik yang hegemonis dan eksploitatif. Sistem ekonomi pasar yang tidak terkendali bisa memarginalkan kelompok miskin, karena penguasaan aset-aset ekonomi oleh segelintir elit ekonomi.
Ketiga, faktor alam (natural factor). Penyebab atau latar belakang dari adanya kemiskinan jenis ini diperoleh dari pendekatan fisik dan ekologi (physical and ecological explanation) dan pendekatan yang menyalahkan individu atau orang miskin (individual blame approach). Setidaknya tiga jenis yang tergolong sebagai penyebab yang alamiah ini, yaitu; 1) kondisi alam yang kering, tandus dan tidak memiliki sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi, keterisolasian wilayah pemukiman penduduk, 2) bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi dan wabah penyakit baik menyerang manusia maupun sumber mata pencaharian (ternak dan tanaman), 3) kondisi fisik manusia baik berupa bawaan sejak lahir maupun pengaruh degenerasi yang menjadikan seseorang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja secara baik.
Keempat; konflik sosial politik atau perang. Instabilitas sosial dan politik berpengaruh secara signifikan terhadap menurunnya produktivitas masyarakat.
Jika dikaitkan dengan penelitian ini, aspek struktural berkaitan dengan kondisi perekonomian bangsa yang saat ini masih didera krisis, diduga sebagai salah satu faktor penyebab mengapa Ibu Slamet tidak mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak. Pada saat yang sama, negara belum mampu membiayai dan menyediakan kebutuhan dasar rakyatnya secara murah, mudah dan gratis. Yang bisa dilakukan oleh negara saat ini adalah meluncurkan program-program pembangunan yang bersifat karitas (charity) seperti BLT, beras raskin dan lain-lain, namun ironisnya adalah bantuan yang diterima oleh keluarga miskin termasuk Ibu Slamet, tidak cukup untuk membantu mereka keluar dari ruang-ruang kemiskinan.
”... beras raskin sangat membantu kami mas, tetapi nggak cukup? Sebulan kami hanya dapat jatah beras raskin  7 kg. Harsunya kan 30 kg untuk 3 orang dalam sebulan mas...”(Ibu Slamet)
Sementara itu, dilihat dari aspek kultural, tingkat pendidikan yang rendah membuat keluarga ini tidak memiliki keahlian dan keterampilan yang memadai untuk mencari pekerjaan dan memperoleh pendapatan yang lebih baik dan layak. Akar masalah mengapa ibu Slamet dan bapak Slamet tidak mengenyam pendidikan formal secara layak, karena ketiadaan sumber daya produktif (tanah dan modal) yang dimiliki oleh orang tua mereka di Klaten maupun Boyolali. Disamping itu adanya pandangan masyarakat tradisional yang masih melekat kuat di pedesaan termasuk dalam keluarga bapak Slamet menambah kompleksnya permasalahan yang ada. Misalnya dari pemaparan diatas dapat diketahui bawa Bapak Slamet terdiri dari enam bersaudara, dengan sumber daya yang terbatas yang dimiliki oleh orang tua Bapak Slamet menyebabkan ketidakmampuan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan keluarga tersebut. Akibatnya jika sebelumnya sumber produksi dalam hal ini tanah yang dimiliki oleh orang tua Bapak Slamet mampu memenuhi kebutuhan menjadi tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dengan bertambahnya jumlah keluarga tanpa adanya perhitungan yang matang terkait kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya. Asumsi ini bisa jadi berakar dari adanya semacam pameo yang berkembang di masyarakat tradisional khususnya di pedesaan yang berbunyi ” banyak anak banyak  rezeki ”. Dampak dari masalah ini tentu saja akan mempengaruhi pola pikir mereka terhadap dinamika kehidupan ke depan. Satu hal yang bisa disebutkan dalam laporan penelitian ini adalah bahwa, terdapat kecenderungan untuk selalu memandang kota sebagai tempat yang menjanjikan bagi perbaikan hidup, padahal sebaliknya kota dalam banyak hal membuat orang hidup menderita.
”... ya di kota kan banyak lapangan kerja mas, lagian kami tidak memiliki apa-apa di desa, miskin!. Saya mau kerja apa saja mas yang penting halal, saya dulu jualan permen, rokok di tempat judi” (Bapak Slamet)
Sekilas terlihat bahwa, pola pikir keluarga ini sangat rasional dalam memandang kota. Kota sebagaimana diketahui semua orang termasuk keluarga ini, merupakan pusat-pusat pembangunan dan karena itu ia menyediakan berbagai peluang kerja. Namun demikian, keseluruhan peluang kerja yang mampu membuat seseorang untuk hidup layak hanyalah sektor-sektor formal dan informal yang mensyaratkan pekerjanya harus memiliki keahlian dan keterampilan yang memadai dengan ijazah pendidikan yang ditamatkan sebagai ukuran. Sedangkan bagi mereka yang tidak termasuk dalam kategori ini akan dihadapkan pada pilihan ”pulang ke desa atau tetap bertahan di kota”. Itulah pesan sesungguhnya dari sebuah syarat untuk hidup di kota kapitalis.
Ini berarti, dilema baru akan muncul. Bagi ibu Slamet dan bapak Slamet, pulang ke desa berarti podo wae karena mereka tidak memiliki sumber daya produktif, dan kalau tetap bertahan hidup di kota (Yogyakarta) berarti siap ”bertarung” dengan dinamika kehidupan kota yang keras. Alhamdulilah keluarga ini terkesan mampu menghadapi dinamika kota dimaksud walau mereka terkesan pasrah pada keadaan. Kepasrahan ini lagi-lagi diduga terjadi karena mereka tidak mempunyai pilihan lain selain bekerja sebagai pemulung.
Sementara itu, dari segi penguasaan sumber daya produktif (aspek natural), keluarga ini merupakan kaum migran yang di desa asalnya tidak memiliki aset produksi (tanah, sawah) yang diandalkan untuk membuat betah tinggal di desa.
”...di desa kami hanya punya sebidang tanah ladang yang tidak subur mas, hanya ditanami palawija dan tembako...tidak cukup untuk kami mas, keluarga kami 6 orang...saya ke jogya karena masalah itu mas...” (Bapak Slamet)


3.2     Strategi Bertahan Hidup
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu bahwa, dalam melakukan pengumpulan barang-barang bekas kategori sampah, Ibu Slamet memperoleh penghasilan sebesar Rp. 10.000,- per hari atau Rp. 300.000,- per bulan. Angka uang yang diperoleh ini sesungguhnya sangat jauh dari sebuah kepantasan untuk mengelola kehidupan seseorang. Setelah dilacak lebih jauh, ternyata ada beberapa ”upaya luar biasa” yang dilakukan oleh keluraga Ibu Slamet untuk mempertahankan hidup, dan beberapa situasi sosial yang dapat diidentifikasi sebagai ”modal sosial yang membuat keluarga ini tetap bertahan hidup :

Upaya Luar Biasa :

a)    Pola pengeluaran; persentase pengeluaran rumah tangga lebih diarahkan pada kebutuhan  pangan.Menurut penuturan mereka, sejak bulan Juli 2008, SPP sang anak sebesar Rp. 95.000,- serta uang seragam, uang gedung dan uang buku sebesar Rp. 1.000.000,- belum lunas dibayar, baru Rp. 400.000,- yang sudah dibayar, sementara Rp. 600.000,- belum bisa dibayar karena belum memiliki uang yang cukup. “Gaji” Ibu Slamet ternyata lebih diutamakan untuk membiayai kebutuhan akan pangan keluarga.
Yang menarik dari kondisi ini adalah keluarga ini ternyata menerapkan filosofi hidup yang oleh James S. Scoot dalam bukunya Moral Ekonomi Petani, disebutnya sebagai “safety first philosophy”. Artinya bahwa, ketika dihadapkan pada dua pilihan hidup yang sama-sama berat, (pangan dan pendidikan) maka tampaknya kelurga ini lebih mendahulukan kebutuhan atas pangan ketimbang biaya pendidikan, karena jika tidak dipenuhi maka dampaknya akan sulit dibayar dengan apapun, mulai dari sakit sampai pada hal-hal eksktrim ”mati kelaparan”.

b)    Pola konsumsi; porsi konsumsi makanan disesuaikan dengan pangan yang tersedia, yang penting kenyang (makan 1-2x).
Setiap bulan, sebagaimana keluarga miskin lainnya, keluarga ini mendapat jatah 7 kg beras raskin. Tentu tidak cukup untuk dikonsumsi bagi 3 orang anggota keluarga. Bahkan pasca Lebaran 2008 yang lalu, keluarga ini kedatangan seorang keponakan dari Klaten dan saat ini menumpang tinggal bersama mereka, (katanya mencari pekerjaan di Yogyakarta) . Idealnya, dibutuhkan 30 kg beras per bulan untuk dikonsumsi 4 orang. Tetapi karena atas nama kemiskinan, jatah beras raskin ini diupayakan untuk ”menjadi pas” dikonsumsi, melalui pola makan yang tidak wajar, sehari hanya dua kali makan bahkan hanya sekali pada siang menjelang sore hari.

c)    Bapak Slamet, terkadang mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup dari keahliannya; katanya bisa memijat, menerawang nasib dan masa depan orang. Terkadang pula ia mendapatkan ”uang belas kasihan” layaknya pengemis (tapi ia bukan seorang pengemis) dari orang-orang ketika ia bepergian ke atau kembali pulang dari rumah kerabat di dalam Kota Yogyakarta.

Modal Sosial yang Mendukung :

a)    Bantuan beras, pakaian bekas, kue, dll dari sahabat, kerabat, rumah singgah (gereja) dan orang-orang tertentu. Pernah di sebuah kesempatan bertemu dengan keluarga ini, tampak terlihat dua buah kantong ukuran sedang berisi beras di dalam rumah, yang katanya diberikan oleh orang-orang yang prihatin atas nasib mereka dan juga dari rumah singgah.

b)    Dispensasi biaya pendidikan dari sekolah. Andai saja pihak sekolah (SMP 6 Muhamadiyah) tetap memaksa keluarga ini melunasi uang sekolahnya Bayu sesuai waktu yang telah ditentukan, maka mungkin saat ini Bayu tidak lagi sekolah.

c)    Kursus bahasa inggris gratis dari Rumah Singgah. Rumah Singgah ini merupakan sebuah arena sosial yang dimiliki dan dikelola oleh Gereja Kristen Tabernakel di Jln. HOS Cokroaminoto Tegalrejo. Pada tingkat ini, sesungguhnya gereja sedang tampil, bukan sebagai institusi keagamaan tetapi sebagai institusi sosial yang berpihak pada orang-orang kecil, miskin dan belum sempat dibiayai oleh negara, tanpa melihat latar belakangnya. Mungkin di tempat lain, masih terdapat rumah singgah-rumah singga lainnya yang dikelolah oleh institusi keagamaan lainnya, LSM, atau orang per orang untuk ”menghidupi” orang yang bernasib sama dengan keluarga Ibu Slamet.

d)    Dispensasi pelunasan utang-piutang
Konon, uang sebesar Rp. 400.000,- untuk mencicil uang sekolah anaknya (Bayu), keluarga Slamet meminjamnya dari teman, dengan kesepakatan yang tidak tertulis, akan dilunasi kelak jika sudah mempunyai uang. Kondisi ini mau menjelaskan bahwa di tengah pola relasi masyarakat yang individualisitik di kota, ternyata masih ada rasa saling percaya di antara mereka yang sama-sama hidup menderita. Kemungkinan ini bisa terjadi karena selain faktor pertemanan, diduga terdapat sebuah perasaan kolektif untuk saling berbagi (sama-sama susah dan sama-sama senang atau sedikit menjurus ekstrim ”one for all and all for one”), di antara para kaum miskin. Semangat mereka sebagai sebuah entitas yang terpinggirkan mendorong mereka untuk saling menolong.






















BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan
Mencermati potret kemiskinan yang ada di negeri ini, maka satu hal pasti yang bisa disimpulkan adalah, bahwa ternyata negara belum memiliki kapasitas teknis-manajerial yang memadai untuk mengelolah potensi alam negeri yang katanya memadai dan berlimpah ini, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Fakta pembenarnya adalah, angka kemiskinan tetap saja meningkat dari tahun ke tahun, walau di saat yang sama berbagai program berikut triliunan dana telah digelontorkan untuk membiayai atas apa yang disebut proyek kemiskinan. Salah satu dampak dari situasi ini adalah, melemahnya kualitas sumberdaya pada sebagian besar manusia Indonesia, dan karenanya membuat mereka menjadi tidak mampu menggoverning dirinya dalam mengarungi situasi sulit dari dekade-dekade pembangunan sebelumnya hingga kini dan berakhir entah sampai kapan.
Berangkat dari data dan fakta kemiskinan berikut analisis kemiskinan yang diuraikan sebelumnya, serta ironi kemiskinan yang disebakan oleh kebijakan pembangunan sebagimana disebutkan pada alinea pertama bab ini, maka beberapa kesimpulan penelitian dapat diambil untuk menjawab pertanyaan penelitian (rumusan masalah), sebagai berikut :
Kemiskinan yang dialami keluarga ibu Slamet pada dasarnya lebih disebabkan oleh faktor struktural, kultural dan natural. Secara struktural; kemiskinan yang dialami oleh keluarga Slamet merupakan akibat terperangkap dalam kapitalisme kota.  Hal ini sejalan dengan pernyataan Weber bahwa,
”Kapitalisme sekarang, yang telah mendominasi kehidupan perekonomian, mendidik dan memilih insan-insan ekonomi yang dibutuhkannya melalui suatu proses survival of the fittest dalam bidang ekonomi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa keluarga Slamet :

         Rasional dalam memandang kota sebagai tempat yang menjanjikan bagi perbaikan hidup, tetapi rendahnya keahlian dan keterampilan membuat mereka tidak terserap pada peluang kerja di kota, baik sektor formal dan informal. Akar dasar dari masalah ini sebenarnya adalah proses pelemahan kualitas sumberdaya manusia yang secara tidak sengaja namun sistematis sedang dilakukan oleh negara melalui kebijakan pembangunannya yang tidak pro rakyat miskin.

         Tidak sempatnya mereka untuk hadir dalam ruang-ruang pembelajaran formal, membuat  keluarga ini tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengakses dan memfilter dinamika pengaruh dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Pada akhirnya mereka terjebak pada sebuah kondisi negatif (kota yang ”keras dan individualistik”), yang pada awalnya mereka duga sebagai sesuatu yang mencerahkan (kota yang ”menjanjikan kehidupan lebih baik”).

Dari segi kultural, keluarga ini dinilai :   

         Selalu pasrah pada keadaan yang dihadapi dan tidak berusaha untuk hidup lebih baik. Pertanyaan mengapa pasrah dapat dilacak melalui jawaban, ”...ya mau gimana lagi mas, semuanya sudah diatur oleh Yang Di Atas, walau hidup terus begini kami gak mau pulang kampung...sama aja mas, di kampung juga gak punya apa-apa kok...”. Jawaban ini muncul ketika ditanyakan secara berulang-ulang pada waktu yang berbeda ditanyai soal jumlah pendapatan (Rp. 10.000,-/hari) yang diduga tidak dapat membiayai sejumlah kebutuhan dasar.

Sedangkan secara natural;
         Keluarga ini merupakan kaum migran yang di desa asalnya tidak saja memiliki aset produksi (tanah, sawah) yang terbatas, tetapi juga terjadi ketimpangan distribusi dan kompetisi pemanfaatan atas sumberdaya produksi yang terbatas itu (satu kapling tanah seluas ± 1000m² dikuasai dan dikelolah oleh 6 orang anggota inti keluarga (2 orang tua, 4 anak), belum termasuk anggota turunan dari keluarga 4 anak tersebut). Karena itu pilihan untuk kelana ke kota dimaksudkan untuk mempersempit ketimpangan distribusi dan kompetisi dimaksud, namun ironisnya keadaan di kota tidak jauh lebih baik dengan keadaan di desa (Klaten dan Boyolali).

1.    Di tengah kemiskinan yang melilit dan tak kunjung usai entah kapan, ternyata keluarga ini masih memiliki upaya luar biasa melalui pengaturan pola pengeluaran dan pola konsumsi dalam rangka bertahan hidup. Mereka, setelah dilacak ternyata memiliki skala prioritas dalam mengarungi hidup, walaupun mengorbankan kebutuhan yang lain, yang sama-sama penting dan mendesak.
2.    Ternyata, di tengah irama relasional kehidupan kota yang individual, masih terdapat sekelompok orang, organisasi sosial yang masih memiliki tenggang rasa terhadap orang-orang miskin semisal keluarga Ibu Slamet. Inilah yang disebut modal sosial.

4.2. Rekomendasi Aksi
Beberapa rekomendasi yang dapat digunakan untuk menanggulangi kemiskinan termasuk bagaimana membuat kehidupan Ibu Slamet dan keluarganya menjadi lebih bermartabat, antara lain :

1)    Kebijakan pembangunan diharapkan tidak lagi memiliki ruang constraining atau ruang yang melemahkan potensi intelijensia dasar masyarakat dan karenanya mengkendalai mereka dalam usaha mempertahankan hidup. Ke depan, kebijakan pembangunan yang dirancang diharapkan lebih enabling sehingga masyarakat lebih cerdas dalam menggoverning diri mereka menuju keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran. Walaupun demikian, pemerintah diharapkan untuk :
         Menyediakan program jaminan sosial terutama kesehatan dan pendidikan secara permanen terhadap keluarga ini dan keluarga atau penduduk miskin lainnya. Bukankah dalam konstitusi telah tertulis bahwa negara wajib membiayai fakir miskin dan anak terlantar?
         Kebijakan karitas juga masih dibutuhkan, saat kondisi perekonomian bangsa yang belum beranjak dari krisis. Namun kebijakan tersebut harus mampu membuat masyarakat lebih berdaya.
2)    Keterbatasan sumberdaya/aset produktif yang dimiliki, harusnya bisa diatasi oleh negara melalui distribusi pemanfaatan yang adil bagi masyarakat miskin. Eksploitasi dan hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa (negara dan pemilik modal) di berbagai daerah, tidak saja akan semakin memiskinkan masyarakat.

3)    Intervensi kebijakan terhadap penduduk miskin harus terintegrasi dalam suatu program pemberdayaan yang terpadu. Selama ini intervensi kebijakan lebih bersifat fisik, dan melupakan atas apa yang disebut penyuluhan, informasi dan komunikasi pembangunan.
4)    Kebijakan harus pro rakyat miskin (responsif dan akomodatif terhadap apa yang mereka butuhkan, libatkan mereka dalam pembuatan keputusan-dengar suara mereka)
5)    Membangun pusat-pusat pertumbuhan dan kota-kota baru di daerah periferi dan daerah asal untuk membendung urbanisasi.
6)    Menumbuhkan, mengembangkan dan memberdayakan modal-modal sosial yang ada dalam masyarakat.
Dilema kita adalah : masyarakat merupakan suatu kegiatan perdagangan di mana moralitas ditarik dari pasar” (Adam Smith dlm buku Filsafat untuk Pemula)

Tetapi, Itu kata Adam Smith…!
Kita tidak sedang berada di dunia yang dimaksudkan Smith,…kita masih memiliki modal sosial yang cukup untuk menolong mereka yang miskin melalui banyak cara,…di sini kita punya kolekte, kita punya perpuluhan, kita punya zakat, kita punya rumah singgah, dll.


















DAFTAR PUSTAKA


·         Arifin Bety dan Cosmas Kondang, 2007, Sintesis Kemiskinan Partisipatif Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kota Kupang, Kabupaten Ngada dan Kabupaten Sikka, provinsi Nusa Tenggara Timur, PIAR, Kupang.

·         Coernellis Lay dan Aris Arif Mundayat, Manajemen Kemiskinan, Keterbelakangan, Ketimpangan dan Pengangguran (Modul Kuliah), S2 PLOD UGM Yogyakarta.

·         Emil Salim, dalam .. , 2004, Strategi Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Undang-undang Keistimewaan NAD, Tesis, S2 PLOD UGM Yogyakarta.

·         Faturocman, dkk, 2007,Membangun Gerakan Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta.


·         Max Weber, 2006, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

·         Umi Listyaningsih, 2004, Dinamika Kemiskinan di Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM Yogyakarta dan Patnership For Economic Growth, Yogyakarta.

0 komentar:

Post a Comment