EKSPLOITASI PEREMPUAN DALA MEDIA
MASSA
BAB 1
PENDAHULUAN
Perkembangan
jaman telah menimbulkan berbagai pergeseran nilai terutama nilai - nilai moral.
Teknologi sekarang memungkinkan untuk mendukung hal – hal yang dahulu di anggap
tabu. Secara nyata perkembangan teknologi telah mampu menciptakan dunia global
yang berkembang. Yaitu ketika dunia teknologi berkembang dalam skala masal,
maka teknologi telah merubah bentuk masyarakat dari masyarakat dunia lokal
menjadi masyarakat dunia global.
Teknologi secara
fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada fungsi yang substansial
seperti mengatur lalu lintas, mengatur komunikasi dan mengatur pertunjukan.
Perkembangan teknologi tidak hanya berdampak pada teknologi informasi yang
membuat media massa memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat modern
seperti memasuki dunia global atau mendorong perkembangan sebuah lingkungan
yang strategis namun juga memacu hal-hal yang banyak menonjolkan fisik yang
mengarah pada sensualitas, yang menurut Prof. Dr. Burhan Bungin dikenal dengan
istilah pornomedia.
Penonjolan
bentuk fisik perempuan tidak hanya tampil dalam berbagai program acara seperti
halnya dangdut tapi juga dalam media masa seprti
sinetron,film,iklan.Media hadir menyampaikan pesan tertentu dan media ini ternyata sangat berpengaruh dalam
masyarakat.
Lalu
eksploitasi seperti apa yang seharusnya tidak muncul dalam media
seperti iklan..
Begitu banyaknya iklan yang dahulu masyarakat anggap tabu kini menjadi bagian
dari keseharian. Media telah sangat mendukung peran eksploitasi perempuan dalam
iklan. Begitu banyak iklan yang mengandung eksploitasi perempuan hingga sulit
dibedakan apa itu bentuk eksploitasi atau bukan. Karena ada sebagian masyarakat
yang menilai bahwa eksploitasi lebih bersifat subjektif yang dalam hal ini sama
halnya dengan pornografi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.EKSPLOITASI PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA
Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, maka informasi yang kita dapatkan dapat diakses dengan mudah dan cepat hal tersebut dapat kita lihat padapun perkembangan media elektronik khususnya televisi dan internet.
Dalam perkembangan media elektronik
khususnya televisi dan internet tentu saja membawa dampak positif dan dampak
negatif. Salah satu dampak negatif terutama terhadap perempuan yang terdapat
dalam media elektronik khususnya perempuan dalam media elektronik tersebut. Hal
yang sensitif dalam persoalan eksploitasi perempuan ini adalah ketika di
kontruksikan dengan media massa tentunya baik dalam hal tayangan (content) atau
sifatnya dalam bentuk berita (news)..Bentuk eksploitasi tersebut dapat kita
lihat dalam industri media elektronik, televisi dan internet, perempuan kerap
kali hanya dijadikan sebagai obyek seksual, dimana tubuh perempuan maupun sifat
keperempuanan dijadikan salah satu alat untuk memancing daya tarik pemirsa baik
dalam sinetron, film televisi, dan program-program televisi lainnya,
memanfaatkan keindahan atau sensualitas tubuh perempuan sebagai alat untuk
menjual produk yang diiklankan atau untuk dimanfaatkan dalam memperoleh
keuntungan di industri pornografi dalam mediatelevisi dan internet adalah
terdapatnya eksploitasi elektronik internet.
Eksploitasi
perempuan dalam media elektronik khususnya televisi dan internet tentu saja
membawa dampak terhadap perempuan. Komite televisi Indonesia harus menyadari
hal semacam ini dan masih harus belajar lebih banyak lagi untuk menyajikan informasi
yang lebih bermanfaat. Setidaknya membuka kesadaran kita lebih jauh betapa
televisi tidak lebih baik dan tidak lebih rendah dari realitas sesungguhnya
yang terlebih dahulu kita anggap tidak baik dan rendah.
Berdasarkan uraian tersebut banyak hal yang perlu
kita cermati dalam pemberdayaan perempuan yang merupakan instrument dalam media
pertelevisian maupun internet.
B.EKSPLOITASI PEREMPUAN
Eksploitasi (Inggris: exploitation) adalah politik pemanfaatan
yang secara sewenang-wenang terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek
eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
Eksploitasi perempuan merupakan fenomena yang fundamental
yang tentu menarik untuk dicermati dan dikaji dalam perspektif ilmu sosial,
khususnya dalam ranah ilmu hukum dengan latar belakang bicara mengenai
issue-issue gender.
Persoalannya adalah sampai saat ini eksploitasi
perempuan tersebut ketika dihubungkan dalam konteks hukum, fakta yang terjadi
di masyarakat adalah masih seringnya terdapat atau dijumpai tentunya dalam
berbagai bentuk dalam kerangka kriminologis. Hal yang sensitif dalam persoalan
eksploitasi perempuan ini adalah ketika di kontruksikan dengan media massa
tentunya baik dalam hal tayangan (content) atau sifatnya dalam bentuk berita
(news).
Seiring berjalannya waktu realitas yang kita lihat
adalah ketika mulai banyak segelintir pihak yang mempertanyakan dan menggugat
peranan media massa dalam penyebaran berbagai informasi dan hal-hal negatif.
Banyak kalangan yang menuding bahwa media massa, entah disadari atau tidak, punya
peranan penting dalam proses kemerosotan moral bangsa ini. Tudingan itu
bertolak dari kenyataan bahwa saat ini terutama karena adanya “eforia media”
sebagai jargon “kebebasan pers” yang efek sampingnya adalah buah dari proses
reformasi.
Banyak sekali praktek media masa yang terang-terangan
menampilkan aspek yang selama ini dianggap “tabu“ untuk ditampilkan sebagai
jualan utamanya dan karenanya dianggap lagi tidak memperdulikan tatanan
norma-norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Hidayat
dan Sandjaja, dalam “media and
the pandora’sbot of reformasi” mengungkapkan bagaimana euforia reformasi
kemudian ikut berperan dalam menjadikan media massa sebagai kotak Pandora yang
“melepaskan” berbagai macam hal buruk, seperti konflik dan kekerasan sebagai
komoditas. Selain aspek politik dan liputan-liputan berbau mistik yang tadinya
“tabu” untuk dibicarakan terbuka apalagi dijadikan untuk liputan media namun
sekarang wujudnya semakin bergeser menjadi jualan yang laris adalah yang
berkaitan dengan seksualitas dan seks, tentu obyeknya langsung atau tidak
langsung adalah perempuan, dalam hal ini adalah pornografi. Singkatnya,
seksualitas dan juga sensualitas dalam berbagai bentuk menjadi semacam “hot
sale” yang hampir selalu ada dalam praktek media massa dengan jargon “perempuan”
sebagai komoditas, misalnya saja iklan sebagai bentuk salah satu jenis
eksploitasi perempuan dalam tayangan media televisi.
Perkembangan yuridisnya sekarang memang muncul berbagai
regulasi mengenai persoalan ini undang-undang pornografi, undang-undang
informasi dan transaksi elektronik atau UU No 11 tahun 2008 akan tertutup
sampai saat ini masalah eksploitasi perempuan di media massa tersebut tetaplah
menjadi “komoditas” media dan publik. Tanpa disadari bahwa membuat hal tersebut
sebagai sesuatu yang menyimpang, baik dari segi etika dan aturan tentunya.
C.PEREMPUAN SEBAGAI OBYEK MEDIA MASSA
Wanita atau perempuan secara filsafat adalah makhluk humanis, namun tidak
berarti ia weakness atau lemah untuk melakukan sesuatu sulit, dalam berbagai
berbagai profesi saja perempuan sebagai yang nomor satu terlepas dari apapun
yang pro atau pun kontra terhadap kesetaraan perempuan atau gender, perempuan
dalam status sosial yang diatas tentu menjadi kuat dan profesional dalam
melaksanakan aktifitas. Persoalannya disini adalah ketika dilihat dari sisi
keadilan masyarakat tentu berbeda ketika kita melihat perempuan dalam tatanan
status sosial yang lain. Dalam hal ini yang muncul adalah perempuan menjadi
sosok yang kadang termarginalkan oleh hak-hak dan perlindungan atasnya.
Perempuan sebagai obyek disini adalah sebagai tempelan yang berlandaskan
manfaat atas kepentingan tertentu, dalam hal ini adalah media massa baik itu
cetak ataupun elektronik. Lantas kenapa perempuan di eksploitasi sebagai obyek
disini?, tentunya alasan yang umum adalah nilai jual perempuan mahal sebab
perempuan makhluk yang menawan dalam arti fisik apapun alasannya hampir pasti
orang suka ketika melihat perempuan di televisi atau media. Ironisnya disini
adalah perempuan/ wanita cenderung mempunyai fungsi hanya sebagai keindahan
dimana keindahan biologis dimanfaatkan oleh pelaku media sebagai komoditas dan
identitas dari sebuah mutu dan kesan mewah.
Terlihat
disini bahwa perempuan cenderung sebagai obyek yang sepihak tanpa mengedepankan
nilai-nilai atau norma yang tentu sudah jelas dianut oleh bangsa kita sebagai
bangsa yang beradap.
D.PEREMPUAN DAN
SUBYEKTIFITAS MEDIA
Ketika media massa memberitakan peristiwa pemerkosaan dan
dalam berita itu disebutkan “perempuan berkulit kuning langsat dan bertubuh
sintal”, maka penulisan peristiwa pemerkosaan itu telah menjadikan perempuan
sebagai korban, korban untuk kedua kalinya (revictimized), pertama dia menjadi
korban kekerasan fisik (pemerkosaan), kedua, dia menjadi korban penulisan,
seolah-olah karena kulitnya yang kuning dan tubuhnya yang sintal itu yang
menjadi penyebab kekerasan atas diri perempuan itu.
Terlepas dari hal diatas walaupun beberapa media telah mencoba menampilkan liputan dengan menghormati perempuan (korban), misalnya dengan menyingkirkan identitas dan dengan menjelaskan kejadian secara ringkas dan deskriptif saja, tetapi masih saja terdapat media yang tetap mengedepankan pemberitaan terhadap perempuan secara “vulgar” tanpa mengedepankan prinsip check and balance dalam penyiaran atau peliputan.
Terlepas dari hal diatas walaupun beberapa media telah mencoba menampilkan liputan dengan menghormati perempuan (korban), misalnya dengan menyingkirkan identitas dan dengan menjelaskan kejadian secara ringkas dan deskriptif saja, tetapi masih saja terdapat media yang tetap mengedepankan pemberitaan terhadap perempuan secara “vulgar” tanpa mengedepankan prinsip check and balance dalam penyiaran atau peliputan.
Sebagaimana telah diuraikan dalam poin-poin diatas, atas
persoalan perempuan dan media dapatlah dilihat bahwa parameter
keterkaitan media dan perempuan adalah melalui nilai yakni obyek dan
subyeknya. Tentu masih ada lagi korelasi lain terkait dengan persoalan ini,
namun kedua hal inilah yang antara lain penulis rasakan sebagai faktor
fundamental keterkaitan antara perempuan dan media massa dalam konteks
eksploitasi perempuan.
Yang
menarik kemudian adalah ketika persoalan ini dimunculkan sebagai bentuk
apresiasi terhadap perempuan ataukah eksploitasi? Yang
pasti bahwa wanita/ perempuan punya nilai “jual” yang sangat tinggi di dunia
media baik itu news atau sebagai ikon atas suatu televisi. Contoh ringan saja,
wanita kebanyakan mendominasi dalam presenter di media elektronik, entah itu
televisi atau radio. Sementara di media cetak menjadi redaktur/ head redaktur
dan reporter. Tetapi dalam news tentu berbeda, perempuan/ wanita cenderung
menjadi komoditas berita tanpa dipertimbangkan privasinya.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Berawal
dari ketertarikan penayangan diberbagai acara televisi yang menonjolkan fisik
perempuan seperti adanya perempuan berpakaian minim, adanya
penampilan-penampilan atau gerakan erotis dan sensual juga pengambilan gambar
yang kadang menonjolkan bagian-bagian tubuh perempuan bahkan bagian vital.
Hal-hal yang disebutkan seperti diatas adalah bagian dari eksploitasi .
Seluruh persoalan eksploitasi perempuan di media massa
tidak terlepas dari kepentingan tertentu serta struktur modal yang
kapitalistik. Industri media massa akan menempatkan berita-berita yang bersifat
“maskulin” sebagai sesuatu yang utama karena dianggap sebagai “menjual”, ciri
kapital juga terdapat dari dikalahkannya pemuatan berita demi iklan, meski
iklan adalah alasan utama untuk media massa agar bisa bertahan. Media sejauh
ini masih terkesan tidak sensitif gender, yakni masih memberi tempat bagi
proses legitimasi bias gender, terutama dalam menampilkan representasi
perempuan. Masih rendahnya pemahaman dan penegakan terhadap sendi-sendi etika
serta implementasi atas aturan hukum yang mendasari para pekerja media dalam
menjalankan aktifitas jurnalistiknya, dalam hal ini adalah UU No 40 tahun 1999
tentang pers, kode etik wartawan dan P3SPS (Pedoman Perilaku Standar Program
Siaran) KPI (Komisi penyiaran Indonesia).
B.SARAN
. Pentingnya kesadaran “insan media”
dalam hal ini pengelola media massa mengejar target media dengan berpegang
teguh pada prinsip check and balance atas content dari suatu tayangan atau
berita yang berobyek perempuan.Memperkokoh sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas atas pekerja media dalam menanamkan pemahaman terhadap
regulasi-regulasi terkait media massa dan etika/ kode etik wartawan serta P3SPS
KPI dengan pelatihan-pelatihan ataupun seminar mengenai pentingnya regulasi-regulasi
atas media dalam mengemas atau menyajikan informasi kepasar publik.Mewujudkan
pemberitaan yang sensitif terhadap gender guna menempatkan perempuan dalam
posisi yang tidak termarginalkan oleh insan media massa.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah. Zulkarnaini, Mengapa harus
Perempuan, Ar-Ruzz, Jogyajarta, 2003.
Agung. Lirik. AM, Iklan dan Wanita.
Media Indonesia, hal.31, 25 April 2001
asin. Kamla, Memahami Gender,
TePLOK PRESS, Jakarta, 2001
PEREMPUAN
DAN MESIN HASRAT KAPITALISME:
“KOMODIFIKASI PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA”
DISUSUN OLEH:
EDMUNDUS ROKE WEA
ILMU
KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”YOGYAKARTA
0 komentar:
Post a Comment