Monday 27 May 2013

perempuan dan mesin hasrat kapitalisme

Selengkapnya di http://www.maseteguh.com/2015/11/memasang-kode-unit-iklan-adsense.html#ixzz4MoUVmb9a
EKSPLOITASI PEREMPUAN DALA MEDIA MASSA
BAB 1
PENDAHULUAN
Perkembangan jaman telah menimbulkan berbagai pergeseran nilai terutama nilai - nilai moral. Teknologi sekarang memungkinkan untuk mendukung hal – hal yang dahulu di anggap tabu. Secara nyata perkembangan teknologi telah mampu menciptakan dunia global yang berkembang. Yaitu ketika dunia teknologi berkembang dalam skala masal, maka teknologi telah merubah bentuk masyarakat dari masyarakat dunia lokal menjadi masyarakat dunia global.
Teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada fungsi yang substansial seperti mengatur lalu lintas, mengatur komunikasi dan mengatur pertunjukan. Perkembangan teknologi tidak hanya berdampak pada teknologi informasi yang membuat media massa memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat modern seperti memasuki dunia global atau mendorong perkembangan sebuah lingkungan yang strategis namun juga memacu hal-hal yang banyak menonjolkan fisik yang mengarah pada sensualitas, yang menurut Prof. Dr. Burhan Bungin dikenal dengan istilah pornomedia.
Penonjolan bentuk fisik perempuan tidak hanya tampil dalam berbagai program acara seperti halnya dangdut tapi juga dalam media masa seprti sinetron,film,iklan.Media hadir menyampaikan pesan tertentu dan media ini ternyata sangat berpengaruh dalam masyarakat.
Lalu eksploitasi seperti apa yang seharusnya tidak muncul dalam media seperti iklan.. Begitu banyaknya iklan yang dahulu masyarakat anggap tabu kini menjadi bagian dari keseharian. Media telah sangat mendukung peran eksploitasi perempuan dalam iklan. Begitu banyak iklan yang mengandung eksploitasi perempuan hingga sulit dibedakan apa itu bentuk eksploitasi atau bukan. Karena ada sebagian masyarakat yang menilai bahwa eksploitasi lebih bersifat subjektif yang dalam hal ini sama halnya dengan pornografi. 


BAB II
PEMBAHASAN

A.EKSPLOITASI PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA


Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, maka informasi yang kita dapatkan dapat diakses dengan mudah dan cepat hal tersebut dapat kita lihat padapun perkembangan media elektronik khususnya televisi dan internet.
Dalam perkembangan media elektronik khususnya televisi dan internet tentu saja membawa dampak positif dan dampak negatif. Salah satu dampak negatif terutama terhadap perempuan yang terdapat dalam media elektronik khususnya perempuan dalam media elektronik tersebut. Hal yang sensitif dalam persoalan eksploitasi perempuan ini adalah ketika di kontruksikan dengan media massa tentunya baik dalam hal tayangan (content) atau sifatnya dalam bentuk berita (news)..Bentuk eksploitasi tersebut dapat kita lihat dalam industri media elektronik, televisi dan internet, perempuan kerap kali hanya dijadikan sebagai obyek seksual, dimana tubuh perempuan maupun sifat keperempuanan dijadikan salah satu alat untuk memancing daya tarik pemirsa baik dalam sinetron, film televisi, dan program-program televisi lainnya, memanfaatkan keindahan atau sensualitas tubuh perempuan sebagai alat untuk menjual produk yang diiklankan atau untuk dimanfaatkan dalam memperoleh keuntungan di industri pornografi dalam mediatelevisi dan internet adalah terdapatnya eksploitasi elektronik internet.
Eksploitasi perempuan dalam media elektronik khususnya televisi dan internet tentu saja membawa dampak terhadap perempuan. Komite televisi Indonesia harus menyadari hal semacam ini dan masih harus belajar lebih banyak lagi untuk menyajikan informasi yang lebih bermanfaat. Setidaknya membuka kesadaran kita lebih jauh betapa televisi tidak lebih baik dan tidak lebih rendah dari realitas sesungguhnya yang terlebih dahulu kita anggap tidak baik dan rendah.
Berdasarkan uraian tersebut banyak hal yang perlu kita cermati dalam pemberdayaan perempuan yang merupakan instrument dalam media pertelevisian maupun internet.
B.EKSPLOITASI PEREMPUAN
Eksploitasi (Inggris: exploitation) adalah politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
Eksploitasi perempuan merupakan fenomena yang fundamental yang tentu menarik untuk dicermati dan dikaji dalam perspektif ilmu sosial, khususnya dalam ranah ilmu hukum dengan latar belakang bicara mengenai issue-issue gender.
 Persoalannya adalah sampai saat ini eksploitasi perempuan tersebut ketika dihubungkan dalam konteks hukum, fakta yang terjadi di masyarakat adalah masih seringnya terdapat atau dijumpai tentunya dalam berbagai bentuk dalam kerangka kriminologis. Hal yang sensitif dalam persoalan eksploitasi perempuan ini adalah ketika di kontruksikan dengan media massa tentunya baik dalam hal tayangan (content) atau sifatnya dalam bentuk berita (news).
 Seiring berjalannya waktu realitas yang kita lihat adalah ketika mulai banyak segelintir pihak yang mempertanyakan dan menggugat peranan media massa dalam penyebaran berbagai informasi dan hal-hal negatif. Banyak kalangan yang menuding bahwa media massa, entah disadari atau tidak, punya peranan penting dalam proses kemerosotan moral bangsa ini. Tudingan itu bertolak dari kenyataan bahwa saat ini terutama karena adanya “eforia media” sebagai jargon “kebebasan pers” yang efek sampingnya adalah buah dari proses reformasi.
Banyak sekali praktek media masa yang terang-terangan menampilkan aspek yang selama ini dianggap “tabu“ untuk ditampilkan sebagai jualan utamanya dan karenanya dianggap lagi tidak memperdulikan tatanan norma-norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Hidayat dan Sandjaja, dalam “media and the pandora’sbot of reformasi” mengungkapkan bagaimana euforia reformasi kemudian ikut berperan dalam menjadikan media massa sebagai kotak Pandora yang “melepaskan” berbagai macam hal buruk, seperti konflik dan kekerasan sebagai komoditas. Selain aspek politik dan liputan-liputan berbau mistik yang tadinya “tabu” untuk dibicarakan terbuka apalagi dijadikan untuk liputan media namun sekarang wujudnya semakin bergeser menjadi jualan yang laris adalah yang berkaitan dengan seksualitas dan seks, tentu obyeknya langsung atau tidak langsung adalah perempuan, dalam hal ini adalah pornografi. Singkatnya, seksualitas dan juga sensualitas dalam berbagai bentuk menjadi semacam “hot sale” yang hampir selalu ada dalam praktek media massa dengan jargon “perempuan” sebagai komoditas, misalnya saja iklan sebagai bentuk salah satu jenis eksploitasi perempuan dalam tayangan media televisi.
Perkembangan yuridisnya sekarang memang muncul berbagai regulasi mengenai persoalan ini undang-undang pornografi, undang-undang informasi dan transaksi elektronik atau UU No 11 tahun 2008 akan tertutup sampai saat ini masalah eksploitasi perempuan di media massa tersebut tetaplah menjadi “komoditas” media dan publik. Tanpa disadari bahwa membuat hal tersebut sebagai sesuatu yang menyimpang, baik dari segi etika dan aturan tentunya.
C.PEREMPUAN SEBAGAI OBYEK MEDIA MASSA
            Wanita atau perempuan secara filsafat adalah makhluk humanis, namun tidak berarti ia weakness atau lemah untuk melakukan sesuatu sulit, dalam berbagai berbagai profesi saja perempuan sebagai yang nomor satu terlepas dari apapun yang pro atau pun kontra terhadap kesetaraan perempuan atau gender, perempuan dalam status sosial yang diatas tentu menjadi kuat dan profesional dalam melaksanakan aktifitas. Persoalannya disini adalah ketika dilihat dari sisi keadilan masyarakat tentu berbeda ketika kita melihat perempuan dalam tatanan status sosial yang lain. Dalam hal ini yang muncul adalah perempuan menjadi sosok yang kadang termarginalkan oleh hak-hak dan perlindungan atasnya.
            Perempuan sebagai obyek disini adalah sebagai tempelan yang berlandaskan manfaat atas kepentingan tertentu, dalam hal ini adalah media massa baik itu cetak ataupun elektronik. Lantas kenapa perempuan di eksploitasi sebagai obyek disini?, tentunya alasan yang umum adalah nilai jual perempuan mahal sebab perempuan makhluk yang menawan dalam arti fisik apapun alasannya hampir pasti orang suka ketika melihat perempuan di televisi atau media. Ironisnya disini adalah perempuan/ wanita cenderung mempunyai fungsi hanya sebagai keindahan dimana keindahan biologis dimanfaatkan oleh pelaku media sebagai komoditas dan identitas dari sebuah mutu dan kesan mewah.
         Terlihat disini bahwa perempuan cenderung sebagai obyek yang sepihak tanpa mengedepankan nilai-nilai atau norma yang tentu sudah jelas dianut oleh bangsa kita sebagai bangsa yang beradap.
D.PEREMPUAN DAN SUBYEKTIFITAS MEDIA
Ketika media massa memberitakan peristiwa pemerkosaan dan dalam berita itu disebutkan “perempuan berkulit kuning langsat dan bertubuh sintal”, maka penulisan peristiwa pemerkosaan itu telah menjadikan perempuan sebagai korban, korban untuk kedua kalinya (revictimized), pertama dia menjadi korban kekerasan fisik (pemerkosaan), kedua, dia menjadi korban penulisan, seolah-olah karena kulitnya yang kuning dan tubuhnya yang sintal itu yang menjadi penyebab kekerasan atas diri perempuan itu.
Terlepas dari hal diatas walaupun beberapa media telah mencoba menampilkan liputan dengan menghormati perempuan (korban), misalnya dengan menyingkirkan identitas dan dengan menjelaskan kejadian secara ringkas dan deskriptif saja, tetapi masih saja terdapat media yang tetap mengedepankan pemberitaan terhadap perempuan secara “vulgar” tanpa mengedepankan prinsip check and balance dalam penyiaran atau peliputan
.
Sebagaimana telah diuraikan dalam poin-poin diatas, atas persoalan perempuan dan media dapatlah dilihat bahwa parameter keterkaitan  media dan perempuan adalah melalui nilai yakni obyek dan subyeknya. Tentu masih ada lagi korelasi lain terkait dengan persoalan ini, namun kedua hal inilah yang antara lain penulis rasakan sebagai faktor fundamental keterkaitan antara perempuan dan media massa dalam konteks eksploitasi perempuan.
         Yang menarik kemudian adalah ketika persoalan ini dimunculkan sebagai bentuk apresiasi terhadap perempuan ataukah eksploitasi? Yang pasti bahwa wanita/ perempuan punya nilai “jual” yang sangat tinggi di dunia media baik itu news atau sebagai ikon atas suatu televisi. Contoh ringan saja, wanita kebanyakan mendominasi dalam presenter di media elektronik, entah itu televisi atau radio. Sementara di media cetak menjadi redaktur/ head redaktur dan reporter. Tetapi dalam news tentu berbeda, perempuan/ wanita cenderung menjadi komoditas berita tanpa dipertimbangkan privasinya.





BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Berawal dari ketertarikan penayangan diberbagai acara televisi yang menonjolkan fisik perempuan seperti adanya perempuan berpakaian minim, adanya penampilan-penampilan atau gerakan erotis dan sensual juga pengambilan gambar yang kadang menonjolkan bagian-bagian tubuh perempuan bahkan bagian vital. Hal-hal yang disebutkan seperti diatas adalah bagian dari eksploitasi .
Seluruh persoalan eksploitasi perempuan di media massa tidak terlepas dari kepentingan tertentu serta struktur modal yang kapitalistik. Industri media massa akan menempatkan berita-berita yang bersifat “maskulin” sebagai sesuatu yang utama karena dianggap sebagai “menjual”, ciri kapital juga terdapat dari dikalahkannya pemuatan berita demi iklan, meski iklan adalah alasan utama untuk media massa agar bisa bertahan. Media sejauh ini masih terkesan tidak sensitif gender, yakni masih memberi tempat bagi proses legitimasi bias gender, terutama dalam menampilkan representasi perempuan. Masih rendahnya pemahaman dan penegakan terhadap sendi-sendi etika serta implementasi atas aturan hukum yang mendasari para pekerja media dalam menjalankan aktifitas jurnalistiknya, dalam hal ini adalah UU No 40 tahun 1999 tentang pers, kode etik wartawan dan P3SPS (Pedoman Perilaku Standar Program Siaran) KPI (Komisi penyiaran Indonesia).
B.SARAN
.    Pentingnya kesadaran “insan media” dalam hal ini pengelola media massa mengejar target media dengan berpegang teguh pada prinsip check and balance atas content dari suatu tayangan atau berita yang berobyek perempuan.Memperkokoh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas atas pekerja media dalam menanamkan pemahaman terhadap regulasi-regulasi terkait media massa dan etika/ kode etik wartawan serta P3SPS KPI dengan pelatihan-pelatihan ataupun seminar mengenai pentingnya regulasi-regulasi atas media dalam mengemas atau menyajikan informasi kepasar publik.Mewujudkan pemberitaan yang sensitif terhadap gender guna menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak termarginalkan oleh insan media massa.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Zulkarnaini, Mengapa harus Perempuan, Ar-Ruzz, Jogyajarta, 2003.
Agung. Lirik. AM, Iklan dan Wanita. Media Indonesia, hal.31, 25 April 2001
asin. Kamla, Memahami Gender, TePLOK PRESS, Jakarta, 2001
















PEREMPUAN DAN MESIN HASRAT KAPITALISME:
“KOMODIFIKASI PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA”
DISUSUN OLEH:

     EDMUNDUS ROKE WEA
           
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”YOGYAKARTA

0 komentar:

Post a Comment