Wednesday 9 October 2013

PERKEMBANGAN MEDIA MASSA DI INDONESIA

Selengkapnya di http://www.maseteguh.com/2015/11/memasang-kode-unit-iklan-adsense.html#ixzz4MoUVmb9a

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkembangan media di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dunia cetak perlahan-lahan mulai beralih ke dunia digital dan elektronik. Semakin banyaknya perusahaan-perusahaan media memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat di dunia media massa. Sayangnya perkembangan media saat ini di Indonesia tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan pendidikan manusianya. Salah satunya adalah pesatnya perkembangan dunia infotaiment di sejumlah televisi. Berita-berita seputar gosip di media massa yang lebih laku dibandingkan berita lain. Tak hanya itu, tayangan-tayangan bombantis, mulai dari isu, gosip hingga mistik lebih banyak dihadirkan dibandingkan berita-berita yang mendidik.
Kepala Republika Online, M Irwan Ariefyanto, menyatakan hingga saat ini, media massa banyak disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Tak hanya itu, konsep bad news is a good news seolah menjadi paradigma baru di kalangan media massa di Indonesia. “ Ruang lingkup yang begitu sempit sampai masalah privasi dipublikasikan, sedangkan berita tentang masyarakat kita tidak diperdulikan,'' ujar Irwan.
Kang One, panggilan Irwan menilai para wartawan pemburu berita gosip tersebut sebenarnya bukanlah wartawan. ''Mereka lebih disebut pekerja, karena seringkali mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik,'' katanya.
Hal yang sama diutarakan oleh Redaktur Foto Republika Online, Amin Madani. Menurutnya, banyak seklai foto-foto jurnalistik di sejumlah media mengabaikan kode etik dan lebih banyak mengedepankan sensasi. Tidak hanya itu, seringkali foto-foto yang ditampilkan, adalah foto rekayasa dan bukan foto yang diambil dari sebuah kejadian.




A. Rumusan masalah
1. Pengertian media massa?
2. Bagaimana sejarah media massa di Indonesia?
3. Bagaimana perkembangan media massa di Indonesia?
4. Metodologi?
5. Analisis?
















BAB II
PEMBAHASAN

1.1. Pengertian
Seperti yang telah disebutkan diatas, media massa merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai jenis media dan saluran yang tersedia. Media massa juga dapat dinyatakan sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang kegiatannya melayani dan mengatur kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk sosial dalam kehidupannya sehari-hari sehingga dalam organisasinya media massa akan menyangkut segi isi dan akibat dari proses komunikasi yang melibatkannya.
Ditinjau dari sistem, media massa merupakan sistem terbuka yang probabilistik. Terbuka artinya bahwa media massa tidak bebas dari pengaruh lingkungan; tetapi dilain pihak media massa juga mempengaruhi lingkungan probabilistik berarti hasilnya tidak dapat diduga secara pasti. Situasi seperti itu berbeda dengan sistem tertutup yang deterministik. Dalam perkembangannya media massa mempunyai dua pengertian, yakni media massa dalam pengertian luas dan media massa dalam pengertian sempit. Media massa dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan media massa dalam arti sempit hanya terbatas pada media cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletin kantor berita.

1.2. Sejarah Media Massa Di Indonesia
Berbicara perihal dunia media massa di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah berjasa memelopori hadirnya dunia media massa di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.
Tentang awal mula dimulainya dunia persurat kabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Sejak abad 17 media massa di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa media massa di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.
Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.
Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita.

Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal. Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masyarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.
Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak.



Dunia media massa semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia media massa yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan Media massa kaum pribumi.
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Penerbitan media massa pergerakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun ada juga yang mendapatkan izin dari pemerintahan Belanda.




Munculah kebijakan pembelengguan kebebasan menyuarakan pesan kebebasan negeri yang tertuang dalam undang-undang
(1) Drukpers reglement tahun 1856 tentang aturan sensor preventif.
(2) Pers ordonantie tahun 1931 tentang pembredelan surat kabar.
Pada masa ini tokoh-tokoh pergerakan yang mengopinikan kemerdekan lewat media massa seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul oleh dua penguasa tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu Gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936) dan Gubernur Jenderal Tjarda van Star. De Jonge sendiri menamakan artikel-artikel tokoh pergerakan (memberi labelling) gezagsvijandige artikel atau tulisan-tulisan yang memusuhi pemerintah.
Di masa pemerintahan Jepang kehidupan pers lebih dipersempit, selain UU Belanda UU No 16 yang pasal-pasalnya sangat menakutkan mengenai izin terbit, pembelengguan kebebasan pers dengan memasukan tokoh-tokoh pergerakan kedalam penjara, dan membreidel penerbitannya diberlakukan. Di setiap surat kabar ditempatkan Shidooin (penasihat) yang tidak jarang menulis artikel dengan mencatat nama anggota redaksi.

1.3. Perkembangan  Media Massa Di Indonesia
Dunia media massa telah menjadi salah satu bagian terpenting dalam sejarah Indonesia. Semenjak kemunculannya yang pertama kali pada abad ke-17 sebelum Indonesia merdeka, dunia media massa telah mengambil perannya sebagai saksi perkembangan tanah air. Berikut ini ada beberapa perkembangan media massa da
a) Pada Zaman Kolonial Belanda
Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita- berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant.
 Di Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe.
Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch Handelsbland. Surat- surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat. Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalahBintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayudan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar berbahasa jawa Bromartani yang terbit di Solo.
b) Pada Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil          alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat- alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei. Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
c) Pada Masa Revolusi
Pada masa ini, media massa sering disebut sebagai media perjuangan. Media Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasukpers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free In.
d) Pada Masa Demokrasi Liberal
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Media massa pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par- Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, Media massa dikenal sebagai media partisipan.

e) Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi liberal, menyebabkan Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku di Indonesia. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Selanjutnya, pada Februari 1957, Soekarno kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang diinginkannya. Hampir berselang dengan terjadinya berbagai pemberontakan di banyak daerah di Indonesia yang melihat sentralitas atas hanya daerah dan penduduk Jawa.
Munculnya berbagai pemberontakan di daerah dan di pusat sendiri, membuat Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang pada 14 Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia terkungkung dalam perseturuan antara parlemen melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan militer. Namun, tak berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45, disusul dengan pelarangan Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi, karena keterlibatan kedua partai tersebut dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 di Sumatera.

f) Pada Masa Orde Baru
Setelah berakhirnya peristiwa G 30 S/PKI, berakhir pula masa pemerintahan Orde Lama. Kemudian bangsa Indonesia memasuki alam Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru ini fungsi -dan sistem media massa masih belum berjalan dengan baik. Ketika itu surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan terompet masyarakat untuk menentang kebijaksanaan Orde Lama clan menyokong aksi-aksi mahasiswa/pemuda sehingga surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan parlemen masyarakat.Gejala-gejala media massa liberal kembali melekat.
 Apalagi ketika menjelang Pemilu 1971, sinisme dan kritik yang sifatnya tidak membangun kembali memenuhi lembaran-lembaran surat kabar kita. Timbulnya gejala-gejala yang tidak menguntungkan tersebut, antara lain disebabkan tidak adanya pembinaan yang tegas, baik dari instansi-instansi resmi maupun badan-badan atau organisasi-organisasi yang berkepentingan tentang adanya media massa nasional yang sehat, media massa nasional yang dapat melaksanakan fungsi-fungsinya, baik yang bersifat universal maupun sebagai alat perjuangan bangsa.
Namun, ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan media massa kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena media massa mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana media massa itu bergerak. Oleh karenanya, pada masa ini media massa merupakan salah satu unsur penggerak pembangunan. Kita tentu menyadari bahwa pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun demikian, kita juga menyadari bahwa perubahan sebagai akibat dari pembangunan tidak akan terjadi jika rakyat tidak mengetahui dan dapat menerima motivasi, metode, dan hasil-hasil yang akan dibawa oleh pembangunan itu. Untuk inilah diperlukan penerangan yang lugs kepada rakyat tentang maksud Berta tujuan pembangunan.
Media massa sebagai sarana penerangan/komunikasi meru¬pakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan.Seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan media massa mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan media massa pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian dilatarbelakangi adanya keinginan sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan segala daya dan upaya, para elit berusaha membendung berbagai pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikan diri atau kroni-kroninya. Kehidupan pemerintahan diliputi dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde Baru pun akhirnya tumbang oleh kekuatan rakyat yang dimotori oleh para mahasiswa.
 Salah satu tuntutan mahasiswa-rakyat Wall adanya kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, yang berarti adanya jaminan kebebasan media massa.

g) Pada Masa Reformasi
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ialah terjadinya reformasi sejak 1998 dengan turunnya Soeharto sebagai presiden RI. Runtuhnya Orde Baru membuka era demokrasi dan kebebasan pers yang sebelumnya tidak pernah mampu dinikmati bangsa Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah reformasi, proses demokratisasi, dan kebebasan pers An sudah berjalan dengan baik, khususnya dalam membawa kemajuan rakyat banyak? Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiders Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkah kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.
Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer. Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi.


Beratnya ongkos produksi dan banyaknya pesaing tidak mengurangi perkembangan media massa di Indonesia sekarang. Akan tetapi, kondisi yang sama juga telah melahirkan jenis-jenis pers yang aneh. Banyak pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah memberitakan apa saja, kecuali yang benar. Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang tidak bebas dan bertanggung jawab; pers Orde Habibie adalah pers yang bebas dan tidak bertanggung jawab.
Diwarnai oleh suasana politik yang tidak menentu, hampir Semua surat kabar memusatkan perhatiannya pada berita politik. Karena situasi politik sebenarnya cenderung tidak banyak berubah, pers menjadi sangat aktif untuk membuat berita politik dengan mengakses sumber-sumber berita yang tidak lazim, sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan segala efek sampingnya, pers kita sekarang sedang menikmati bulan madu kebebasannya. Bila kita kecewa dengan kinerjanya, kita tidak punya hak untuk mencabut kebebasan itu. Semua orang sepakat walaupun sebagian hanya dalam kata-kata bahwa reformasi harus dilanjutkan. Salah satu institusi yang sangat berperan dalam proses reformasi ini adalah pers. Sekaranglah saatnya pers Indonesia menemukan jati dirinya, dengan merumuskan perannya secara jelas. Siapakah yang paling bertanggung jawab di sini? Jelas sekali, bukan pemerintah, bukan Dewan Pers, apalagi TNI; tetapi insan pers sendiri, khususnya para pemimpin dan penentu kebijakan surat kabar.
Dalam hubungannya dengan pemerintah, para pakar komunikasi bercerita tentang tiga modus peran pers. Pers dapat menjadi watch-dog, yang segera menggonggong ketika terjadi penyimpangan pada perilaku rezim. Semua kebijakan pemerintah menjadi target serangan pers. Peran watch-dog ini sudah lama kita tepiskan sebagai peran yang tidak sesuai dengan pers Pancasila. Secara ideal, kita sudah memilih peran pers sebagai mitra pemerintah. Di sini pers berdampingan dengan pemerintah mengemban misi mulia memberikan penerangan dan pendidikan (membangun masyarakat). Lalu, lahirlah pers pembangunan. Secara praktis, pers kita selama Orde Baru mengambil posisi sebagai budak pemerintah. Kemitraan hanya tumbuh di antara yang setingkat, yang sama. Dalam hubungan yang supra dan subordinasi, pers hanya menjadi kuda tunggangan pemerintah. Pers Indonesia sekarang harus menggeser paradigms lama dan harus menjadi lembaga independen, yang memihak pads kebenaran. Pers Indonesia boleh jadi sekali waktu bekerja untuk menyukseskan program pemerintah atau menyorot kebijakan pemerintah dengan kritis atau sekadar mendampingi pemerintah. Akan tetapi, dalam posisi yang bermacam-macarn itu adalah tetap menjadi lembaga yang menuntut perubahan demi kepentingan rakyat banyak. Ini berarti pers harus membantu proses demokratisasi. Demokrasi merupakan sebuah sistem yang berusaha memenuhi keinginan seluruh rakyat. Karena tidak ada satu pun yang dapat memenuhi keinginan seluruh rakyat, maka paling tidak kits harus memperhatikan keinginan rakyat yang terbanyak.
Namun, setelah berjalan kurang lebih lima tahun, yang terjadi bukan pers yang sehat, tetapi anarki di bidang media massa. Pers Indonesia belum mampu menjadi pilar demokrasi dan mendukung reformasi, tetapi malah menjadi salah satu penyebab berbagai macam keresahan sosial. Mengapa demikian? Masalahnya sangat sederhana. Dengan kebebasan pers yang hampir tanpa batas, tetapi tidak diiringi profesionalitas yang tinggi di kalangan pekerja pers, maka yang terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan kalangan pers dalam menjalankan tugasnya. Opini yang berkembang adalah pers gosip, pornografi, clan berita-berita yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, dalam pandangan sebagian anggota DPR, ada wacana tentang perlunya merombak UU No. 40 tahun 1999 dengan perlunya memasukkan kembali prinsip perijinan dan mekanisme pengawasan dalam penerbitan pers. Dalam era reformasi ini, bukan pemerintah lagi yang berperan sebagai regulator, tetapi lembaga yang dibentuk kalangan pers sendiri. Pers harus bebas, tetapi kebebasannya harus bermanfaat untuk masyarakat. Wacana perlunya regulator bagi penerbitan media massa mungkin bukan suatu solusi terbaik bagi kalangan media di Indonesia. Namun demikian, jika ingin menyelamatkan demokrasi dan reformasi, maka pers harus menata dirinya sendiri dan mengatur diri tanpa adanya campur tangan (intervensi) dari penguasa.


1.4. Metodologi
Sistem Pers Indonesia membuat masyarakat bebas mengeluarkan aspirasinya pasca Orde Baru. Begitu juga sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara-cara demokratis tetapi bertanggung jawab. Salah satunya dengan memberitakan korupsi yang dilakukan pemerintah sesuai fakta yang akurat.
Penekanan tanggung jawab sosial dianggap penting. Jelasnya, negara adalah masyarakat. Pers yang bekerja berdasarkan teori tanggung jawab harus dapat menjamin hak setiap pribadi untuk didengar dan diberi penerangan yan dibutuhkannya. Dalam beberapa hal rakyat hendaknyadiberi kesempatan untuik menulis dalam media untuk melancarkan kritik-kritiknya terhadap segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, bahkan juga kadang-kadang mgritk medianya sendiri.





Ada 5 syarat pers yang bertanggung jawab bagi masyarakat :
1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.
2.   Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.
3.   Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat. Ketika gambaran yang disajikan media gagal menyajikan suatu kelompok sosial dengan benar, maka pendapat disesatkan; kebenaran tentang kelompok manapun harus benar-benar mewakili; ia harus mencakup nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak boleh mengecualikan kelemahan-kelemahan dan sifat-sifat buruk kelompok.
4.   Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
5.   Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat. (Ada kebutuhan untuk “pendistribusian berita dan opini secara luas).

1.5. Analisis
Bertitik tolak dari pertanyaan minor di atas, maka hal ini sangat berkaitan dengan upaya memberikan jawaban tentang perkembangan SPI pasca Orde Baru yang keberadaannya tidak disertai identitas yang jelas sehingga memicu terjadinya penyimpangan. Hal ini terjadi karena SPI dipengaruhi oleh nilai, filsafat dan ideologi suatu negara dan ini disebabkan karena latar belakang sosial politiknya. Kehidupan pers dalam suatu negara bergantung pada sistem politik atau ideologi yang dianut oleh negara tersebut karena sistem pers merupakan bagian dari sistem negara. Memang jika kita melihat kembali lembaran-lembaran sejarah pers, peristiwa yang dialami dan menimpa kehidupan pers (khususnya pers dalam negeri) selalu berkaitan dan bergantung pada pengawasan pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Pada orde baru dengan Soeharto sebagai pemimpinnya, kehidupan pers dibatasi secara ketat, bahkan cenderung dikekang.
Hal itu dapat dilihat dari pembreidelan beberapa surat kabar pada 1974 setelah peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Contoh yang terkenal ialah Harian Indonesia Raya dengan Mochtar Lubis sebagai punggawanya.
Hal itu dilakukan untuk menjaga pers yang pada saat itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini publik dan mencegah terjadinya ketidakstabilan politik akibat pemberitaan agar pembangunan, yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pada saat itu melalui Pembangungan Jangka Panjang (PJP) dan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang terkenal dengan ideologi developmentalisme-nya, dapat berjalan lancar. Pers yang berada di bawah sistem negara sangat bergantung pada sistem yang ditentukan oleh negara, yakni sistem politik. Sistem politik, yang tergolong dalam suprastruktur, merupakan cerminan dari kehidupan pada infrastruktur atau basis, yaitu kehidupan ekonomi. Jika dilihat dari faktor utama yang memiliki pengaruh kuat terhadap faktor lainnya seperti yang telah digambarkan sebelumnya maka faktor ekonomilah yang paling berpengaruh terhadap segala sendi kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara (sejak berdirinya negara modern) dan kehidupan pers di dalam suatu Negara.
            Bila diamati, posisi SPI berada pada sistem pers tanggung jawab sosial. Dimana pemberitaan harus bisa dipertanggung jawabkan kepada rakyat. SPI bila diamati dan dilihat dari sejarah tidak serta merta langsung berposisi kepada sistem tanggung jawab  sosial. Karena SPI mengacu kepada tanggungjawab sosial sejak pemerintahan zama reformasi.                                                                                                                        
Pada masa reformasi, keluarlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
1.   Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan
3.   Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
4.   Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
5.   Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. UU RI No. 40 Tahun 1999, antara lain juga menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki.
         

  Pers Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan
perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas/posisi. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
•    Tahun 1945-an, pers Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan
•    Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya
•    Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi
•     Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi
•    Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan B.J. Habibie yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.  
                                                 
            Pers Indonesia perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirani, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tubuh pers itu sendiri. Oleh karena itu, pers Indonesia memiliki landasan sebagai berikut ;

1.      Landasan Idiil.
Landasan pertama, yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional kita harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber dari segala sumber hukum.
2.      Landasan Konstitusional.
Landasan yang menunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan.
3.      Landasan Yuridis Formal.
Mengacu kepada UU Pokok Pers No. 40/ 1999 untuk pers, dan UU Pokok Penyiaran No. 32/ 2002 untuk radio siaran dan media televisi siaran.



4.      Landasan strategis Operasional.
Landasan ini mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasional.
5.      Landasan Sosiologis Kultural.
Landasan ini berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
6.      Landasan Etis Profesional.
Landasan ini menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi profesi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama.

BAB III
KESIMPULAN

Sistem Pers merupakan bagian atau subsistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi, sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan ( sosial ) yang lebih luas. Pers juga merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik dengan menggunakan berbagai jenis media dan saluran yang tersedia. Inti permasalahan dalam membicarakan suatu sistem pers, adalah sistem kebebasannya. Suatu sistem pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaik-baiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tangungg jawabnya. Dilihat dari perkembangannya sistem pers Indonesia dari era suatu pemerintahan, yakni ORDE lama, ORDE baru, dan Reformasi.
Sedangkan sistem pers yang saat ini dianut yakni Pers tanggung jawab sosial, dimana pers harus bertanggung jawab terhadap apa yang diberitakan dan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam isi dari pancasila. Dalam menjalankan sistem persnya Indonesia memiliki landasan persnya yakni landasan idil, landasan konstitusional, landasan yuridis formal, landasan operasional, landasan sosiologis kultural dan landasan etis profesional.                                                                                                                  
  Namun dibalik hal itu, SPI sebenarnya memberikan kebebasan terhadap masyarakat. Untuk mengaspirasikan pendapatnya. Kemudian juga dilihat dari banyaknya media massa yang melayangkan kritik terhadap pemerintah. Namun setiap kebebasan perlu adanya batasan dan tanggung jawab. Hal ini supaya moral dan etika masyarakat tetap terjaga.



0 komentar:

Post a Comment