Perbedaan
Karakter Antara
Budaya Yogyakarta dengan Sunda
A.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan
negara majemuk yang mempunyai keanekaragaman suku dengan karakteristiknya
masing-masing. Karakteristik ini merupakan sifat yang khas atau khusus yang
akan membedakan antara budaya yang satu dengan yang lainnya. Karakteristik ini
terbentuk dari anggapan-anggapan masyarakat di luar kebudayaan tersebut.
Anggapan tersebut Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau
merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi
akibat interaksi antara kebudayaan yang berbeda, seperti masalah kebiasan yang
berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi
kebiasaan bahasa atau tradisi dari suatu daerah sementara kita berasal dari
daerah lain.
Dalam menjalani proses
komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya yang
berbeda dengan budaya kita. Keanekaragaman budaya berpengaruh pula
beranekaragamnya praktek-praktek komunikasi, karenanya maka budaya merupakan
landasan berkomunikasi. Komunikasi antar budaya lebih cenderung dikenal sebagai
perbedaan budaya dalam mempersepsi obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian, di
mana masalah-masalah kecil dalam komunikasi sering diperumit oleh adanya
perbedaan-perbedaan persepsi dalam memandang masalah itu sendiri. Dalam hal ini
komunikasi antar budaya diharapkan berperan memperbanyak dan memperdalam
persamaan dalam persepsi dan pengalaman seseorang. Namun demikian karakter
budaya cenderung memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang berbeda
sehingga membawa kita kepada persepsi yang berbeda-beda.
Maka pemahaman dan
penguasaan bahasa isyarat seperti: gerak-gerik anggota tubuh dan ekspresi
wajah, maupun isyarat halus dari nada suara, kemungkinan akan ditafsirkan
secara salah dan
memungkinkan lain tersinggung perasaanya, tanpa kita tahu mengapa hal itu
terjadi.
Komunikasi lintas
budaya dapat membantu kita memperluas
pengalaman dalam hal berkomunikasi. Sebagai contoh dari orang Yogyakarta
mempunyai relasi dari Sunda yang mana juga memiliki keunikan dalam hal budaya.
Selama terjadi interaksi antarbudaya ini kita bisa memahami pandangan budaya
mereka, pandangan budaya kita serta nilai-nilai budaya lainnya.
Kebudayaan yang
dimiliki oleh setiap daerah pasti mengusung keunikan yang mampu menyatukan
setiap individu dalam daerah tersebut. Kebudayaan dapat dipelajari secara
ilmiah dan terstruktur. Sistem nilai budaya yang berbeda dapat dipelajari
secara sistematis, dapat dibandingkan serta dapat dipahami.
B. PEMBAHASAN
1.
Persepsi orang Yogyakarta terhadap orang Sunda
Menurut informan kami orang Yogyakarta yang
bernama Riza Nurahman (20 tahun) terhadap orang Sunda mengatakan bahwa orang Sunda
cenderung berwatak humoris
dan suka bercanda mereka gampang beradaptasi dengan sekelilingnya .
Riza mengatakan bahwa keyakinan budaya Sunda tidak jauh dari unsur tradisi yang
sudah mengental di Sunda tersebut, seperti ritual Sedekah Bumi. Dia juga sangat tertarik dengan budaya Sunda karena
hampir sama dengan Yogyakarta. Selain itu Riza juga memiliki pandangan terhadap
masakan daerah Sunda yang
enak. Riza
juga
mengaku belum pernah mengalami perselisihan terhadap orang Sunda karena ia
dapat menyesuaikan diri dengan orang Sunda.
Menurut
Riza juga ada pengaruh iklim orang Sunda yang dingin juga mempengaruhi bahwa orang Sunda
biasanya kalau berbicara sangat halus dan baik. Mengenai
kehidupan orang Sunda dari segi lingkungan social, Riza juga
menilai bahwa orang Sunda sangat menjunjung tinggi asas kebersamaan dan gotong
royong, orang Sunda dari segi agamis sangat kuat dalam hal agama, dan orang Sunda
dari segi ekonomi selalu bekerja keras untuk mencapai sesuatu untuk mencukupi
kebutuhan ekonominya.
Riza juga
membenarkan bahwa orang Sunda yang tinggal di daerah luar Sunda logat orang Sunda
tersebut tidak dapat hilang karena rasa kearifan lokalnya yang sangat kuat
walaupun sudah tinggal bertahun-tahun di daerah luar Sunda tidak ada batasan dari generasi muda
maupun generasi tua.
Sedangkan
menurut informan kami
orang Yogyakarta generasi tua yang
bernama Pak Ranu (48
tahun) memiliki pandangan yang
tak jauh berbeda terhadap orang Sunda bahwa orang Sunda
itu adalah orang-orang yang humoris dan kalau berbicara lucu dan suka bercanda.
Kebiasaan
orang Sunda juga bagus karena orang Sunda yang suka bercanda akan mempengaruhi
kehidupan sehari-hari yang ceria. Selain itu pada saat berbicara dengan orang Sunda
terasa hangat dan menyenangkan, hangat karena bisa diajak berdiskusi dengan
baik, menyenangkan karena saat berkomunikasi diselingi
kata-kata humor walaupun orang Sunda saat berbicara terkesan banyak omong kalau misalnya kita udah kenal dekat.
Cara Bapak Ranu
untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan cara mencoba memahami sifat dan
karakter orang Sunda walau dari luar nampak humoris namun biasanya pendendam. Pak Ranu sendiri belum pernah mengalami
perselisihan terhadap karakter orang Sunda.
Pak Ranu juga mengatakan bahwa bahasa budaya Sunda atau orang Sunda yang diciptakan dan
digunakan oleh orang Sunda dalam rutinitas sehari-hari. Selain bahasa ada juga
kesenian Sunda seperti : kegiatan sakral dan ritual. Kepercayaan lokal, seperti
Sedekah Bumi, Wayang golek, Ibing trawangsa, dan kesenian permaianan anak
seperti, kurina urang lembur, sorodot gaplok, tatarucingan, ucing sumput, ngadu
muncang dll. Pak Ranu mengatakan bahwa kebudayaan Yogakarta dengan Sunda hampir sama
mereka juga mempunyai adat yang hampir sama seperti sedekah, yaitu sedekah bumi
atau sajen. Pandangan Pak Ranu terhadap ciri khas bahasa Sunda itu lebih halus dari Yogyakarta, cirri khas bahasa Sunda
yaitu intonasinya yang sangat
halus. Pak
Ranu
juga mengatakan bahwa pengaruh iklim Sunda mempengaruhi cara mereka berbicara
karena daerah Sunda yang dingin
menyebabkan mereka berbicara dengan intonasi yang rendah.
Pak Ranu menilai masakan Sunda lebih
menarik dan lebih enak daripada masakan Yogyakarta dengan bermacam variasi rasa
makanan, misal Makanan khas Bandung ini terbuat dari tepung aci
dan ikan,
diberi bumbu kemudian
dikukus, dan disajikan
atau dimakan dengan
telur rebus, kol, tahu,
kentang dan dicampur
dengan saus kacang, yang
sudah dibumbui, hampir sama dengan bumbu saos kacang batagor. Siomay ini terdapat di beberapa rumah
makan, warung yang ada di kota
Bandung. Pak Ranu juga mengatakan ciri khas masakan Sunda adalah
pedas, agak asin dan ada petisnya. Pak
Ranu
mengatakan bahwa masakan orang
Sunda adalah masakan yang sudah akrab dilida orang pada umumnya.
Pak Ranu pun menilai kehidupan orang Sunda
dari segi lingkungan sosial, agama
dan ekonomi sudah cukup baik daripada tahun-tahun
sebelumnya. Dari segi agamis mereka
sangat menghargai agama lain. Pak Ranu juga mengatakan tidak benar orang Sunda
pemilih dalam hal mencari pasangan hidup,
karena mereka sangat menghargai suku budaya lain yang beranekaragam.
Dengan
demikian menurut kedua Informan Yogyakarta terhadap orang btersebut
dijelaskan bahwa watak orang Sunda itu memang harmonis dan sangat bersahaja.
Namun, orang Sunda juga humoris, pintar melucu, dan pintar membawa suasana
menjadi ceria. Walaupun orang Sunda nampak sombong dari luar, namun orang Sunda
memiliki sikap yang murah hati. Orang Sunda juga akan marah jika harga dirinya
dipermalukan di depan umum dan dilecehkan SARA-nya.
Ke dua Informan dari Yogyakarta juga
menilai masakan-masakan Sunda sangat
enak. Selain itu kebudayaan daerah Sunda juga sangat hamgat dan masih percaya dengan hal-hal gaib,
intinya hampir sama dengan orang Yogyakarta pada umumnya.
2.
Persepsi orang
Sunda terhadap orang Yogyakarta
Menurut Informan kami orang Sunda yang bernama Rani Shita (21 tahun)
memiliki pandangan terhadap orang Yogyakarta bahwa orang Yogyakarta lebih ramah
dari orang Sunda.
Shinta juga memiliki pandangan terhadap kebiasaan orang Yogyakarta yang
terkadang lebih munafik, suka
basa-basi, sedikit sulit bergaul, ulet tekun penuh kehati-hatian dan pasrah. Namun,
menurutnya orang Yogyakarta dalam berperilaku dan bertutur kata juga terkesan
sopan (halus) agar tidak menyakiti lawan bicaranya saat berkomunikasi.
Shinta
yang memiliki pengalaman berkomunikasi dengan orang Yogyakarta mengaku cukup menyenangkan. Adapun kendalanya
saat berkomunikasi dengan orang Yogyakarta adalah nada bicaranya sangat halus dan murah senyum. Cara
mengatasi kendala tersebut Shinta berusaha untuk berbicara lebih pelan dan juga mengadaptasi menjadi suka basa-basi
kalau ingin berbicar karena orang Yogyakarta juga sangat gampang tersingung.
Shinta
memiliki pandangan terhadap keyakinan budaya Yogyakarta yang masih sangat
menghargai budayanya dan orang Yogyakarta benar-benar melestarikan budaya yang
dimilikinya.
Dia
juga tertarik dengan budaya Yogyakarta karena budaya Yogyakarta yang masih
sangat kental dengan kebudayaan jawanya seperti Sekaten. Adat istiadat Yogyakarta juga kental seperti Gunungan. Shinta
juga mengatakan bahwa dia tidak memiliki kendala dalam menghadapi perbedaan
adat istiadat Yogyakarta tersebut karena sudah bisa beradaptasi dan orang Yogyakarta yang mencintai budayanya hampir
sama dengan budaya Sunda.
Shinta juga memiliki pandangan terhadap
bahasa daerah Yogyakarta yang masih ada tatanan antara bahasa Jawa Ngoko dan
Jawa Kromo, sedangkan budaya Sunda
tidak ada level nya seperti orang Yogyakarta, di budaya Sunda dari generasi
muda dan tua sangat sama atau tidak ada beda level tutur katanya.
Shinta menilai
masakan daerah Yogyakarta yaitu berciri khas serba Manis. Menurut Shinta juga, karakter orang Yogyakarta
kerjanya tidak bisa cepat (alon-alon waton klakon). Sedangkan untuk masalah
orang Yogyakarta yang dianggap suka menunda-nunda pekerjaan, memang benar . Banyaknya mitos orang
Yogyakarta yang terlalu berlebihan ternyata juga kadang menakutkan bagi Shinta,
namun menurutnya hal seperti itu antara percaya dan tidak percaya dia tanggapi,
tapi terkadang mitos itu juga bisa terjadi.
Shinta
juga membenarkan
bahwa orang Yogyakarta itu terlalu banyak basa-basi (munafik). Selain itu masalah orang Yogyakarta juga
sensitive terhadap penggunaan bahasa ibukota (bahasa
gaul) bagi Shinta tergantung pada kepribadian
orang Yogyakarta masing-masing. Adapun sebabnya orang Yogyakarta
dapat sensitive terhadap hal itu karena orang Yogyakarta masih banyak yang
menggunakan tatanan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Berbicara
soal kehidupan orang Yogyakarta dari segi lingkungan sosial, Shinta
berpandangan bahwa sosialisasinya cukup baik. Untuk kehidupan
orang Yogyakarta dari segi agamis, Shinta mengatakan bahwa di Sunda semua agama
ada, sedangkan di Yogyakarta masih ada campuran dan masih ada unsure kejawen.
Sedangkan untuk kehidupan orang Yogyakarta dari segi ekonomi, lebih maju Sunda
dari segi penghasilan karena di sana ada
persaingan bisnis yang lebih ketat daripada Yogyakarta.
Masalah
orang Yogyakarta yang terkesan “medok” dalam hal berkomunikasi, Shinta mengatakan bahwa lebih “medok” Sunda
daripada Yogyakarta. Misalnya saja orang Sunda dan orang Yogyakarta
bersama-sama tinggal di Jakarta 3 bulan, maka yang lebih cepat hilang
“medok”nya saat berkomunikasi adalah orang Yogyakarta. Sedangkan untuk hal menentukan pasangan
hidup, Shinta
membenarkan
bahwa orang Yogyakarta terlalu pemilih dalam memilih pasangan hidupnya karena
terlalu memikirkan 3B pasangan hidupnya (bibit, bebet, bobot).
Ada juga
Informan Sunda generasi tua yang bernama Bapak Tarmun (45 tahun) memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda terhadap orang
Yogyakarta bahwa orang Yogyakarta adalah orang yang sabar dan sarat dengan
sopan santun.
Namun orang Yogyakarta biasanya menunda-nunda pekerjaan. Pengalaman Pak Tarmun saat berkomunikasi
dengan orang Yogyakarta adalah tidak berterus terang dan cenderung banyak
basa-basi, kendala yang dialami Bapak tarmun saat berkomunikasi dengan orang
Yogyakarta karena tidak berterus terang jadi perlu kesabaran untuk mengetahui
isi hati mereka kendala untuk mengatasinya adalah lebih agresif dan lebih
membuka diri saat berinteraksi dengan orang Yogyakarta. Pak Tarmun menilai keyakinan budaya Yogyakarta sangat luhur dan
menjiwai disegala aspek kehidupan orang Yogyakarta, selain karena budayanya
yang menjiwai segala aspek kehidupan orang Yogyakarta, juga karena sopan santunnya yang kental
sekali sehingga mengharuskan Pak
Tarmun
untuk sabar menghadapinya
dan meneladaninya karena itu semua sangat baik. Pak Tarmun
memiliki pandangan terhadap budaya Yogyakarta yang halus sebagai bukti takut
menyinggung lawan bicaranya serta terkesan pura-pura untuk menyenangkan lawan
bicarannya.
Ada
perbedaan adat istiadat Sunda dan Yogyakarta yaitu di Sunda cenderung tertutup apabila ditanyai asal usulnya, kendala
yang dihadapi Pak Tarmun
dalam menghadapi perbedaan adat istiadat Yogyakarta adalah menyesuaikan diri
dari yang “alon-alon waton klakon” sampai
agresif namun berusaha untuk tetap tidak menyinggung perasaan. Kendala yang
diatasi Pak Tarmun
adalah dengan cara memperbanyak
pergaulan dan belajar mengenai adat istiadat Yogyakarta. Pak Tarmun juga memandang bahasa
daerah Yogyakarta itu halus dan memiliki ciri yang terdiri dari bahasa Ngoko, bahasa
Ngoko Madya, bahasa Krama Inggil. Penggunaan bahasa tersebut tergantung
terhadap kepada siapa kita berbicara, ada persamaan bahasa Sunda dengan bahasa Yogyakarta
saat digunakan berkomunikasi.
Pak Tarmun juga menilai karakter
orang Yogyakarta yang tidak suka berterus terang dan penuh basa-basi dengan
alasan takut menyinggung perasaan namun halus tutur katanya. Cara Pak Tarmun untuk mengatasi
kendala tersebut adalah mengimbangi dan menyesuaikan diri terhadap orang yang
suka basa-basi. Pengaruh iklim pun tidak mempengaruhi cara berbicara orang
Yogyakarta menurut beliau yang jelas bukan dari iklim tapi dari pengaruh
kerajaan Mataram jaman dulu dan tidak semua orang Yogyakarta basa-basi karena
basa-basi bukan dari budaya Yogyakarta juga,itu dilakukan agar tidak
menyinggung lawan bicaranya. Pak
Tarmun
juga mengatakan memang benar orang Yogyakarta sensitive terhadap penggunaan
bahasa ibukota karena menurut beliau itu dianggap “mbois”(sok modern), hal yang
membuat orang Yogyakarta sensitive terhadap hal tersebut karena terkesan sok
modern dan juga seolah-olah mereka yang menggunakan bahasa ibukota menganggap
ibukota adalah segala-galanya terkesan mengejek atau menyindir. Pak Tarmun pun belum pernah
mengalami perselisihan dengan orang Yogyakarta karena beliau mengatakan “Dimana
saya berpijak disitu langit dijunjung” (pandai membawakan diri). Pak Tarmun juga menilai bahwa
masakan Yogyakarta itu berciri khas serba manis dan selalu harus sering
diawetkan (dipanaskan) misal : Gudeg, Bakpia, Yangko, Arem-arem, Lemper, Apem, jajanan
pasar, dan lain sebagainya. Tanggapan Pak Tarmun terhadap mitos yang berkembang di
Yogyakarta yang berlebihan sebaiknya
diikuti saja kalau itu demi keselamatan kita juga.
Pak Tarmun pun menilai masyarakat
Yogyakarta dari segi lingkungan sosial, agama dan ekonomi sudah cukup baik. Dari segi lingkungan
sosial Pak Tarmun
mengatakan luwes, mudah menyesuaikan diri terhadap orang dan lingkungan baru. Jika
dilihat dari segi agama yaitu tekun dan selalu menjalankan perintah agamanya
masing-masing dan dilihat dari segi ekonomi orang Yogyakarta itu ulet dan tekun
dalam berusaha namun ada kecenderungan agak sedikit kikir atau pelit juga. Tanggapan Pak Tarmun terhadap orang
Yogyakarta yang terkesan “medok” dalam berkomunikasi tidak ada masalah, biasa-biasa
saja tanpa disadari saat kita berbahasa Indonesia biasa pun juga kadang-kadang
terkesan medok. Pak Tarmun
mengataka benar kalau orang Yogyakarta itu suka menunda-nunda pekerjaan. Orang
Yogyakarta pun dikenal dengan sikap yang sopan dalam berperilaku dan bertutur
kata karena mereka membanggakan sebagai daerah yang berupa kerajaan yang masih
aktif sehingga menjiwai mereka sehari-hari. Namun Pak Tarmun tidak membenarkan kalau orang Yogyakarta pemilih dalam
menentukan pasangan hidup karena itu kembali lagi ke pengalaman pribadi
masing-masing. Orang Yogyakarta tidak rasialis atau pemilih dalam menentukan
pasangan hidup.
Dengan
demikian menurut kedua Informan Sunda terhadap orang Yogyakarta tersebut
dijelaskan bahwa orang Yogyakarta itu sopan, tutur kata dan perilakunya halus,
suka basa-basi, dan berputar-putar saat berbicara. Basa-basi yang dilakukan
orang Yogyakarta tersebut karena takut menyakiti perasaan lawan bicaranya saat
berkomunikasi. Unsure medhok dan budaya njawani yang dimiliki orang Yogyakarta
bukan pengaruh dari iklim Yogyakarta namun dari pengaruh jawa kerajaan Mataram
jaman dulu dan pengaruh Kraton Jawa Yogyakarta. Pak Tarmun juga menilai bahwa
orang Yogyakarta sensitive terhadap penggunaan bahasa gaul ibu kota (elo gue,
dan sebagainya) karena terkesan mbois atau
sok-sok’an bagi orang Yogyakarta. Orang Yogyakarta juga terkesan suka tidak
menghargai waktu atau suka molor waktu saat sudah menepati waktu janjinya
dengan orang lain. Mereka juga masih mempercayai mitos-mitos yang berlaku di
lingkungan masyarakat Yogyakarta.
C.
Kesimpulan
Memahami dan menghormati budaya
sendiri dan budaya lainnya merupakan salah satu kunci keberhasilan terciptanya
komunikasi yang efektif dalam komunikasi antar budaya. Di sini kami belajar untuk mengetahui apa yang seharusnya
kami lakukan setelah wawancara dengan Informan tersebut. Dimana orang Sunda
dengan orang Yogyakarta sama, mereka sangat mempercayai budaya leluhur yang
sangat kental akan budayanya.
Diambil dari Informan Yogyakarta mengutarakan
tentang budaya Sunda yang mana cenderung lugas, berwatak halus dan mempunyai rasa percaya diri
yang tinggi. Namun orang Sunda merupakan orang yang humoris dan pintar membawa
suasana menjadi ceria. Akan menjadi sensitive jika orang Sunda disinggung
tentang hal-hal yang berbau SARA. Budaya orang Yogyakarta yang masih
mempercayai mitos-mitos pun dipandang sama dengan orang Sunda. Di Sunda juga ada budaya atau ritual lain selain
Satu Suro yang ada di
Yogyakarta,
budaya Sunda juga mempunyai budaya seperti Sedekah Bumi yang hampir sama dengan
Yogyakarta. Namun perbedaanyan dengan tutur kata yang budaya Sunda yang tidak
sama , kalau di Yogyakarta generasi muda harus menghormati generasi tua dengan
menggunakan bahasa jawa kromo alus atau kromo inggil namun di masa sekarang
mulai pudar dengan budaya barat. Sedangkan di budaya Sunda tidak ada bahasa
yang seperti di Yogyakarta , kalau di Budaya Sunda generasi muda dan Generasi
muda sama dengan tutur katanya.
Intinya bahwa apabila kita menghadapi budaya-budaya yang
belum kita pahami, kita harus bisa menyesuaikannya. karena di satu sisi kita
harus menilai bahwa budaya lampau harus kita pelajari, setidaknya kita tau agar
dimasa sekarang ini kita tau mana yang baik dan mana yang menyimpang. Itu semua
haruslah menjadi pedoman, karena di indonesia masih banyak budaya-budaya lain
yang belum kita ketahui ataupun kita pahami.
Karena
seperti diketahui, budaya adalah sesuatu yang dihasilkan oleh budi dan akal
seseorang. Siapapun harus menghargai dan
tidak ada campur tangan untuk mengubah atau menghilangkannya sekalipun. Semua
mempunyai keunikan, kelebihan, bahkan kelemahan masing-masing. Sikap menghargai
segala sesuatu yang berbeda itulah yang harus dijunjung. Dalam komunikasi
lintas budaya pun juga dapat dilihat dari segi tujuannya.
Kenapa ya... jawa dan sunda selalu dibanding-bandingkan? Seperti adu domba saja...
ReplyDeleteAku punya teman2 orang sunda juga baik2 kok...
Kalo ada yang mau tinggal sementara atau selamanya di Jogja. Kami bisa bantu mencarikan tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhan Anda.
Jangan bingung mencari atau mengiklankan Rumah kontrakan, Kontrakan Paviliun, Homestay, Ruko, Kos-kosan, Sewa rumah/tanah, dan Jual beli rumah/tanah di Jogja!
Karena Cari Kontrakan Jogja telah hadir di tengah-tengah Anda.
Silahkan kunjungi website kami langsung dan buktikan sendiri pelayanan kami hanya di :
http://carikontrakanjogja.com/
Kami menawarkan space iklan di website kami. Jika Anda ingin memasang produk2 yang Anda jual, silahkan kunjungi website kami. Dan hubungi nomor yang telah tercantum di website kami.
www.carikontrakanjogja.com