Wednesday, 9 October 2013

PENGERTIAN JURNALISTIK


JURNALISTIK
1. Pengertian Jurnalistik

Definisi jurnalistik sangat banyak. Namun pada hakekatnya sama, para tokoh komunikasi atau tokoh jurnalistik mendefinisikan berbeda-beda. Jurnalistik secara harfiah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.Istilah jurnalistik erat kaitannya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik adalah seperangkat atau suatu alat madia massa. Pengertian jurnalistik dari berbagai literature dapat dikaji definisi jurnalistik yang jumlahnya begitu banyak. Namun jurnalistik mempunyai fungsi sebagai pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat mengenai apa saja yang terjadi di dunia. Apapun yang terjadi baik peristiwa faktual (fact) atau pendapat seseorang (opini), untuk menjadi sebuah berita kepada khalayak. Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaopran setiap hari. Jadi jurnalistik bukan pers, bukan media massa. Menurut kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya.

Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan jurnalistik, dibawah ini adalah definisi dari para tokoh tentang jurnalistik seperti yang di rangkum oleh Kasman dalam bukunya bahwa jurnalistik adalah:

F. Fraser Bond dalam bukunya An Introduction to Journalism menyatakan:
“Journalism ambraces all the forms in which and trough wich the news and moment on the news reach the public”. Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati.

M. Djen Amar, jurnalistik adalah usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide atau gagasan dengan bentuk suara, inilah cikal bakal makna jurnalistik sederhana. Pengertian menurut Amar juga dijelaskan pada Sumadiria. Jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya.

M. Ridwan, Jurnalistik adalah suatu kepandaian praktis mengumpulkan, mengedit berita untuki pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau terbitan terbitan berkala lainnya. Selain bersifat ketrampilan praktis, jurnalistik merupakan seni.

Onong U. Effendi, jurnalistik adalah teknik mengelola berita sejak dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. Pada mulanya jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informatif saja.

Adinegoro, jurnalistik adalah semacam kepandaian karang-mengarang yang pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. Sedang menurut Summanang, mengutarakan lebih singkat lagi, jurnalistik adalah segala sesuatu yang menyangkut kewartawanan.


Dalam buku Jurnalistik Indonesia karya Sumadiria juga mengungkapkan pengertian beberapa tokoh antara lain; F.Fraser Bond, Roland E. Wolseley, Adinegoro, Astrid S. Susanto, Onong U. Effendi, Djen Amar, Erik Hodgins, Kustadi Suhandang, dan bahkan penulis itu sendir Haris Sumadiria.

Roland E. Wolseley dalam Understanding Magazines (1969:3), jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan umum secara sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran.

Astrid S. Susanto, jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari.

Erik Hodgins (Redaktur Majalah Time), jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama, dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan keadilan.

Haris Sumadiria, pengertian secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.

Dalam buku Kustadi Suhandang, juga terdapa satu pakar lagi yang mendefinisikan pengertian jurnalistik, yaitu A.W. Widjaya, menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktualdan factual dalam waktu yang secepat-cepatnya.


Sedang menurut Kustadi Suhandang sendiri, jurnalistik adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya.

Menurut A.Muis dan Edwin Emery yaitu; A.Muis (pakar hukum komunikasi) mengatakan bahwa definisi tentang jurnalistik cukup banyak. Namun dari definisi-definisi tersebut memiliki kesamaan secara umum. Semua definisi juranlistik memasukan unsur media massa, penulisan berita, dan waktu yang tertentu (aktualitas). Menurut Edwin Emery juga sama mengatakan dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (timeliness atau aktualitas). Dan Emery menambahkan bahwa seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi jurnalis adalah melaporkan berita. Kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada beritanya.

Menurut Ensiklopedi Indonesia, jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala, denganmenggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.

Sumadiria juga menambahkan bahwa jurnalistik dalam Leksikon Komunikasi dirumuskan, jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi.

2. Ruang Lingkup Jurnalistik
 Ruang lingkup jurnalistik sama saja dengan ruang lingkup pers. Dalam garis besar jurnalistik Palapah dan Syamsudin dalam diktat membagi ruang lingkup jurnalistik ke dalam dua bagian, yaitu : news dan views  (Diktat “Dasar-dasar Jurnalistik”).
News dapat dibagi menjadi menjadi dua bagian besar, yaitu :
1. Stainght news, yang terdiri dari :
a) Matter of fact news
b) Interpretative report
c) Reportage
     2. Feature news, yang terdiri dari :
a) Human interest features
b) Historical features
c) Biographical and persomality features
d) Travel features
e) Scientifict features
Views dapat dibagi kedalam beberapa bagian yaitu :
a) Editorial
b) Special article
c) Coloum
d) Feature article

3. Sejarah Jurnalistik

Pada mulanya jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informatif saja. Itu terbukti pada Acta Diurna sebagai produk jurnalistik pertama pada zaman Romawi Kuno, ketika kaisar Julius Caesar berkuasa.

Sekilas tentang pengertian dan perkembangan jurnalistik, Assegaff sedikit menceritakan sedikit sejarah. Bahwa jurnalistik berasal dari kata Acta Diurna, yang terbit di zaman Romawi, dimana berita-berita dan pengumuman ditempelkanatau dipasang di pusat kota yang di kala itu disebut Forum Romanum. Namun asal kata jurnalistik adalah “Journal” atau “Du jour” yang berarti hari, di mana segala berita atau warta sehari itu termuat dalam lembaran tercetak. Karena kemajuan teknologi dan ditemukannya percetakan surat kabar dengan system silinder (rotasi), maka istilah “pers muncul”, sehingga orang lalu mensenadakan istilah “jurnalistik” dengan “pers”.

Sejarah yang pasti tentang jurnalistik tidak begitu jelas sumbernya, namun yang pasti jurnaliatik pada dasarnya sama yaitu diartikan sebagai laporan. Dan dari pengertian ada beberapa versi. Kalau dalam dari sejarah Islam cikal bakal jurnalistik yang pertama kali didunia adalah pada zaman Nabi Nuh.
Suhandang dalam bukunya juga menerangkan sejarah Nabi Nuh terutama dalam menyinggung tentang kejurnalistikan. Dikisahkan bahwa pada waktu itu sebelum Allah SWT menurunkan banjir yang sangat hebatkepada kaum yang kafir, maka datanglah maiakat utusan Allah SWT kepada Nabi Nuh agar ia memberitahukan cara membuat kapal sampai selesai. Kapal yang akan dibuatnya sebagai alat untuk evakuasi Nabi Nuh beserta sanak keluarganya, seluruh pengikutnya yang shaleh dan segala macam hewan masing-masing satu pasang. Tidak lama kamudian, seusainya Nabi Nuh membuat kapal, hujan lebat pun turun berhari-hari tiada hentinya. Demikian pula angin dan badai tiada henti, menghancurkan segala apa yang ada di dunia kecuali kapal Nabi Nuh. Dunia pun dengan cepat menjadi lautan yang sangat besar dan luas. Saat itu Nabi Nuh bersama oranng-orang yang beriman lainnya dan hewan-hewan itu telah naik kapal, dan berlayar dengan selamat diatas gelombang lautan banjir yang  sangat dahsyat.

Hari larut berganti malam, hingga hari berganti hari, minggu berganti minggu. Namun air tetap menggenang dalam, seakan-akan tidak berubah sejak semula. Sementara itu Nabi Nuh beserta lainnya yang ada dikapal mulai khawatir dan gelisah karena persediaan makanan mulai menipis. Masing-masing penumpang pun mulai bertanya-tanya, apakah air bah itu memang tyidak berubah atau bagaimana? Hanya kepastian tentang hal itu saja rupanya yang bisa menetramkan karisuan hati mereka. Dengan menngetahui situasi dan kondisi itu mereka mengharapkan dapat memperoleh landasan berfikir untuk melakukan tindak lanjut dalam menghadapi penderitaanya, terutama dalam melakukan penghematan yang cermat.
Guna memenuhi keperluan dan keinginan para penumpang kapalnya itu Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Setelah beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian kemari mencari makanan, tetapi sia-sia belaka. Burung dara itu hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun (olijf) yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun di patuknya dan dibawanya pulang ke kapal. Atas datangnya kembali burung itu dengan membawa ranting zaitun. Nabi Nuh mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh permukaan bumi masih tertutup air, sehingga burung dara itu pun tidak menemukan tempat untuk istirahat demikianlah kabar dan berita itu disampaikan kepada seluruh anggota penumpangnya.

Atas dasar fakta tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama kali di dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik dan caranya mencari serta menyiarkan kabar (warta berita di zaman sekarang dengan lembaga kantor beritannya). Mereka menunjukan bahwa sesungguhnya kantor berita yang pertama di dunia adalah Kapal Nabi Nuh.

Data selanjutnya diperolah para ahli sejarah negara Romawi pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi (Imam Agung) mencatat segala kejadian penting yang diketahuinya pada annals (papan tulis yang digantungkan di serambi rumahnya). Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya
.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya. Caesar mengumumkan hasil persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa papan tulis pada masa itu. (60 SM) dikenal dengan acta diurna dan diletakkan di Forum Romanum (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Terhadap isi acta diurnal tersebut setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh mengutipnya untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.
Baik hikayat Nabi Nuh menurut keterangan Flavius Josephus maupun munculnya acta diurna belum merupakan suatu penyiaran atau penerbitan sebagai harian, akan tetapi jelas terlihat merupakan gejala awal perkembangan jurnalistik. Dari kejadian tersenut dapat kita ketahui adanya suatu kegiatanyang mempunyai prinsip-prinsip komunikasi massa pada umumnya dan kejuruan jurnalistik pada khususnya. Karena itu tidak heran kalau Nabi Nuh dikenal sebagai wartawan pertama di dunia. Demikian pula acta diurna sebagai cikal bakal lahirnya surat kabar harian.
Seiring kemajuan teknologi informasi maka yang bermula dari laporan harian maka tercetak manjadi surat kabar harian. Dari media cetak berkembang ke media elektronik, dari kemajuan elektronik terciptalah media informasi berupa radio. Tidak cukup dengan radio yang hanya berupa suara muncul pula terobosan baru berupa media audio visual yaitu TV (televisi). Media informasi tidak puas hanya dengan televisi, lahirlah berupa internet, sebagai jaringan yang bebas dan tidak terbatas. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi telah melahirkan banyak media (multimedia).



Selengkapnya di http://www.maseteguh.com/2015/11/memasang-kode-unit-iklan-adsense.html#ixzz4MoUVmb9a

FILSAFAT KOMUNIKASI


FILSAFAT KOMUNIKASI
BY:EZRA
Ketika manusia melihat atau mengalami suatu peristiwa, akan terdorong naluri ingin tahu ¬nya, ia pun akan bertanya: apakah ini? Dari mana datangnya? Apa sebabnya demikian? Mengapa demikian? Manusia yang semula tidak tahu, ia akan berusaha untuk mencari tahu kemudian mencari tahu, hingga keingintahu nya terpenuhi. Jika keingintahuannya terpenuhi, sementara waktu ia akan merasa puas. Namun, masih banyak hal yang mengelilingi manusia, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, ada atau yang mungkin ada, yang berarti masih harus diuji kebenarannya. Hal ini kembali mendorong naluri ingin tahu, membuat pertanyaan lain yang yang terus bermunculan.
Terdapat dua cara manusia untuk tahu, yaitu bertanya kepada manusia lain atau bertanya pada diri sendiri dengan melakukan penyelidikan sendiri. Makin lanjut usia seseorang, kemampuan menyelidiki sendiri akan semakin besar, dan akan membuat hasil tahunya menjadi lebih banyak, lebih luas, dan lebih dalam. Semakin banyak dan dalam yang diketahui, ia akan semakin ingin tahu. Sepanjang hidup, naluri ingin tahu akan mendorong manusia untuk terus mencari tahu. Dengan demikian, naluri ingin tahu dapat diartikan sebagai dorongan alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, termasuk hal diri sendiri, dan baru akan berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya.
Ada dua kemungkinan yang terjadi ketika manusia mencari tahu, bahwa yang didapat adalah tahu yang benar atau tahu yang keliru. Manusia tidak suka dengan kekeliruan, dimana semata-mata mereka ingin mencari tahu yang benar, membuat kebenaran sangat berarti bagi setiap manusia.
Sebelum mengetahui, manusia terlebih dahulu melihat, mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Segala yang dilihat, didengar, dan dirasa itulah yang merangsang naluri ingin tahu seseorang. Sepanjang hidupnya, manusia akan dirangsang alam sekitarnya untuk tahu. Hal utama yang terkena rangsang adalah panca indera, yaitu penglihatan, penciuman, perabaan, pendengaran, serta pengecapan. Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-ALAM-an (pengalaman). Ketika tersentuh rangsang, manusia akan bereaksi. Namun, pengalaman semata-mata tidak membuat seseorang menjadi tahu. Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut penge-TAHU-an (pengetahuan). Pengetahuan ada jika demi pengalamannya, manusia mampu mencetuskan pernyataan atau putusan atas objeknya. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat memberi pernyataan atau putusan demi pengalamannya dikatakan tidak berpengetahuan.
Manusia yang tahu dikatakan berpengetahuan. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, pengetahuan adalah hasil dari tahu. Contoh, jika seseorang tahu bahwa rambut Heryanto beruban, artinya ia mengakui hal ”uban” terhadap ”rambut Heryanto”. Ia mengakui sesuatu terhadpa sesuatu. Ia membuat sesuatu, atau dalam filsafat disebut putusan. Jadi, pernyataan atau putusan adalah pengakuan sesuatu terhadap sesuatu.
Orang yang tidak tahu tidak dapat membuat putusan, tidak dapat mengakui apapun, tidak dapat memberi pernyataan, mengetahui sesuatu atas sesuatu. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat membuat putusan dikatakan tidak tahu. Oleh karena itu, untuk dikatakan tahu orang harus sadar bahwa ia tahu, dibuktikan dengan kemampuannya membuat keputusan. Namun, keputusan tidak selamanya harus dicetuskan secara verbal, mungkin hanya tersimpan di hati manusianya saja.
Telah dikemukakan, tahu hendak mencakup objeknya. Apabila pengetahuan tidak sesuai dengan objeknya, maka disebut keliru. Sebaliknya, jika sesuai dengan objek, pengetahuannya dikatakan benar. Persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya dinamakan kebenaran. Ketika kita memberi putusan tentang Intan, ”Oh, saya tahu, Intan itu yang berambut pendek, gemuk, kulitnya hitam kan?” Nyatanya, Intan tidak berambut pendek, gemuk, dan berkulit hitam. Artinya, terdapat ketidak sesuaian antara tahu dan objeknya. Maka, dikatakan bahwa kita keliru. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan objek, yaitu pengetahuan objektif: adanya persesuaian antara tahu dengan objeknya.
Karena suatu objek memiliki banyak aspek, sulit untuk mencakup keseluruhannya. Artinya, akan sulit untuk mencapai seluruh kebenaran. Minimal pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan aspek yang diketahuinya. Jika seseorang tidak tahu tentang salah satu aspek dari suatu objek, ia bukan keliru melainkan dikatakan bahwa pengetahuannya tidak lengkap. Kekeliruan baru terjadi jika manusia mengira tahu tentang satu aspek, tetapi aspek itu tidak pada objeknya. Contohnya, dinyatakan bahwa Intan gemuk nyatanya tidak gemuk.
Sebagaimana diutarakan, terdapat dua cara manusia mendapat pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman orang lain yang diberitahukan kepadanya, baik secara langsung maupun melalui medium, misalnya sebuah buku. Contoh pengetahuan yang diperoleh dari orang lain adalah kita bisa berkata bahwa kutub utara dingin, padahal kita belum pernah ke sana. Kita mengetahui hal itu dari orang lain yang sudah pernah pergi ke sana, ataupun kita mengetahuinya melalui membaca buku yang menceritakan bahwa kutub utara dingin.
Berikut ini terdapat beberapa sikap mental di dalam menyikapi pengetahuan yang baru didapat, baik berdasarkan pengalaman sendiri maupun berdasarkan pengalaman orang lain. Sikap mental tersebut di antaranya:
1. Ke-YAKIN-an (Keyakinan)
Dalam mencari pengetahuan yang benar, manusia harus bersifat kritis, tidak cepat menyimpulkan telah mencapai kebenaran. Jika suatu ketika seseorang merasa cukup alasan pengetahuannya benar, berarti ia telah memiliki keyakinan. Tapi, keyakinan tidak selalu benar. Keyakinan hanya menunjukkan sikap manusia yang tahu, ia yakin karena telah cukup alasan bahwa pengetahuannya benar.
2. Ke-PASTI-an (Kepastian)
Bila manusia berdasarkan pengalamannya sendiri telah membuktikan bahwa keyakinannya benar, dapat dikatakan ia telah memiliki kepastian. Jadi, kepastian adalah keyakinan yang telah mendapat pembuktian kebenaran berdasarkan pengalaman. Dalam kepastian, manusia tidaka akan bersikap sangsi lagi.
3. Ke-PERCAYA-an (Kepercayaan)
Beda halnya dengan kepastian. Bila kepastian adalah sikap mental sebagai hasil dari mencari kebenaran berdasarkan pengalaman sendiri, dimana karena telah mengalami sendiri, seseorang meyakini kebenaran sebagai suatu kepastian. Sedangkan apabila kebenaran pengetahuan didapat dari pengalaman orang lain yang dipercaya, maka disebut kepercayaan. Contohnya, ketika seorang astronomi menyatakan bahwa akan ada gerhana, Anda akan mempercayai kebenaran pengetahuan itu karena percaya pada kredibilitas atau otoritas orang yang menyatakan hal tersebut. Jadi, percaya adalah menerima kebenaran karena kredibilitas atau otoritas orang yang menyampaikan. Agama dikatakan suatu jenis kepercayaan karena kebenarannya diterima berdasarkan kredibilitas dan otoritas orang yang menyampaikan, yaitu para nabi dan rasul. Syarat dari objek agama adalah tidak harus diverifikasi atau diuji.
Pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dipergunakan dalam rumah tangga, pertanian, perikanan, dan sebagainya. Pengetahuan yang digunakan seseorang terutama untuk kehidupan sehari-hari tanpa mengetahui seluk beluknya disebut pengetahuan biasa atau pengetahuan saja. Contohnya, seorang petani tahu benar berapa jumlah pupuk yang harus disiram pada tanamannya, tapi ia tidak benar-benar tahu mengapa jika terlalu banyak atau kekurangan pupuk maka kualitas tanamannya menurun. Dan juga, petani itu tahu benar kapan harus mulai menanam satu jenis tanaman dan kapan memanennya. Akan tetapi, ia tidak benar-benar tahu mengapa tanaman itu harus ditanam pada saat itu dan dipanen pada saat berikutnya. Ia hanya tahu bahwa demikianlah apa yang diberitahukan kepadanya secara turun temurun, juga berdasarkan apa yang ia dapat dari pengalamannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan yang digunakan seseorang dengan harus tahu benar apa sebabnya demikian dan mengapa demikian. Jenis pengetahuan ini disebut ilmu. Contohnya, seorang mahasiswa pertanian yang bahkan belum pernah bercocok tanam sendiri tahu benar berapa banyak pupuk yang harus diberikan pada jenis tanaman tertentu. Ia tahu benar apa sebabnya demikian dan mengapa demikian.
Karena tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, maka terdapat sejumlah persyaratan agar pengetahuan (knowledge) layak disebut ilmu (science). Persyaratan ini disebut sifat ilmiah. Ada 4 syarat agar pengetahuan dapat disebut ilmu, yaitu:
1. Sistematis, yaitu tersusun dalam sebuah rangkaian sebab akibat. Untuk mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem, yang artinya utuh menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaiansebab akibat menyangkut objeknya.
2. Metodis, yaitu cara. Dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan. Oleh karena itu, harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran.
3. Objektif, yaitu sesuai dengan objeknya. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yaitu persesuaian tahu dengan objek, dan karena itu disebut kebenaran objektif, bukan berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
4. Universal, yaitu secara keseluruhan (umum). Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu saja, melainkan yang bersifat umum. Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja tidak diinginkan. Pola pikir yang digunakan adalah pola pikir induktif, yaitu cara berpikir dari hal-hal khusus sampai pada kesimpulan umum. Contohnya, Segitiga lancip, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga siku-siku, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga tumpul, jumlah sudutnya 180 derajat. Maka, ditarik kesimpulan secara umum bahwa semua segitiga bersudut 180 derajat, apapun bentuk segitiga itu.
dengan demikian, jika pengetahuan hendak disebut ilmu, ia harus memenuhi sifat ilmiah sebagai syarat ilmu, yaitu Sistematis, Metodis, Objektif, Universal. Syarat dari objek ilmu adalah harus bisa diverifikasi atau diuji.
Dalam kehidupannya, manusia memiliki pengetahuan yang beraneka ragam. Terdapat 4 jenis pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, yaitu:
1. Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang kita tahu begitu saja.
2. Pengetahuan ilmu / Ilmu Pengetahuan / Ilmu
3. Pengetahuan agama / teologi, yaitu pengetahuan Ketuhanan
4. Pengetahuan filsafat

Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah seluruh ilmu berasal, darinya pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh ke akar, hingga ke dasar.
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.
Terdapat tiga karakteristik dalam berpikir filsafat, yaitu mendasar, spekulatif, dan menyeluruh. Berdasarkan tiga karakteristik tersebut, maka pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga wilayah utama, yaitu wilayah ada, wilayah pengetahuan, dan wilayah nilai. Dan juga, ketiga wilayah tersebut akan digunakan ketika membahas filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Terdapat tiga aspek dalam filsafat ilmu, yaitu:
1. Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
2. Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini, kita akan mengarah ke cabang fisafat metodologi.
3. Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi berasal dari Yunani, yaitu axion yang artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang fisafat Etika.
Sedangkan apabila ilmu komunikasi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari penyampaian pesan antarmanusia, dapat dinyatakan bahwa filsafat ilmu komunikasi mencoba mengkaji ilmu komunikasi dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Oleh karena itu, filsafat ilmu komunikasi mencoba untuk menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut:
1. Ontologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi? Apakah yang ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah hakikat komunikasi yang menjadi objek kajiannya?
2. Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi?
3. Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral dan profesional?
Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya eksak, misalnya dalam biologi akan mudah untuk membedakan kucing dengan anjing, mana jantung dan mana hati, sehingga tidak memerlukan pendefinisian secara ketat. Tidak demikian halnya dengan  ilmu-ilmu sosial yang objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk didefinisikan. Para pakar telah membuat banyak upaya untuk mendefinisikan komunikasi. Ilmu komunikasi sebagai salah satu ilmu sosial mutlak memberikan definisi tajam dan jernih guna menjelaskan objeknya yang abstrak itu.
Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu komunikasi. Sebagaimana diutarakan, objek suatu ilmu harus terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena objeknya yang abstrak, syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa yang terjadi antarmanusia. Contoh, Anda berkata kepada seorang teman, ”Wah, maaf, kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini memenuhi syarat objek ilmu komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia, bukan dengan yang lain selain makhluk manusia.
Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika, yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya, jika ilmu komunikasi juga mempelajari penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang ditujukan kepada bebatuan serta tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi respon positif mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia akan mencederai kriteria objek keilmuannya.
Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada tahun 1976 saja Dance dan Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Mereka mengidentifikasi tiga dimensi konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya, yaitu:
1. Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya
Yang bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Yang bersifat terlalu khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat untuk mengirimkan pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir, dan sebagainya.
2. Tingkat kesengajaan
Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sementara definisi yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.
3. Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan
Yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling pengertian. Sedangkan yang tidak menekankan keberhasilan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi.
Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi itu diperlukan untuk menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan jernih, maka pada tahun 1990-an para teoritisi komunikasi berdebat dan mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan Apakah komunikasi harus diterima (received)? Setelah beradu argumentasi, para ahli sepakat untuk tidak sepakat dan menyatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut pandang) / paradigma yang dapat diakomodir.
Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya. Berikut ini adalah uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil ”kesepakatan untuk tidak sepakat” dari para teoritisi komunikasi:
1. Paradigma-1
Komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan penerima. Implikasinya, jika pesan tidak diterima, tidak ada komunikan, karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada kita tapi kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya, karena kita selaku komunikan tidak menerima pesan itu.
2. Paradigma-2
Komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah disengaja atau tidak. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan tidak harus disampaikan dengan sengaja, tapi harus diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi dinamai sebagai komunikator mengingat keduanya mempunyai peluang untuk menyampaikan pesan, baik disengaja maupun tidak, yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu pihak, adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika kita dengan tidak sengaja melenggang di tepi jalan dan supir taksi berhenti serta bertanya, ”Taksi, pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena supir itu telah memaknai lenggangan kita yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.
3. Paradigma-3
Komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan sulit untuk ditentukan. Paradigma ini menyataan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, tapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan, dan target komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi kita tidak melihat, ini merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah mengapa pesan itu tidak kita terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah pada salurannya? Atau pada alat penerima (mata kita)? Atau ada hal lainnya?
Ketiga paradigma ini dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Sengaja Diterima Syarat
Paradigma-1 V V Komunikator, pengirim pesan, dan komunikan penerima.
Paradigma-2 X V Tidak mempersoalkan komunikator – komunikasi selama ada pihak yang menerima dan memaknai pesan. Seluruh pelaku komunikasi disebut komunikator atau bahkan mendefinisikannya sebagai komunikan, yaitu manusia pelaku komunikasi.
Paradigma-3 V X komunikator pengirim, pesan, dan target komunikan penerima
Tiga Paradigma Objek Kajian Ilmu Komunikasi

Selengkapnya di http://www.maseteguh.com/2015/11/memasang-kode-unit-iklan-adsense.html#ixzz4MoUVmb9a

Monday, 7 October 2013

budaya yogyakarta dan sunda



Perbedaan Karakter Antara Budaya Yogyakarta dengan Sunda
A.       LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara majemuk yang mempunyai keanekaragaman suku dengan karakteristiknya masing-masing. Karakteristik ini merupakan sifat yang khas atau khusus yang akan membedakan antara budaya yang satu dengan yang lainnya. Karakteristik ini terbentuk dari anggapan-anggapan masyarakat di luar kebudayaan tersebut. Anggapan tersebut Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi antara kebudayaan yang berbeda, seperti masalah kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan bahasa atau tradisi dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah lain.
Dalam menjalani proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya yang berbeda dengan budaya kita. Keanekaragaman budaya berpengaruh pula beranekaragamnya praktek-praktek komunikasi, karenanya maka budaya merupakan landasan berkomunikasi. Komunikasi antar budaya lebih cenderung dikenal sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian, di mana masalah-masalah kecil  dalam komunikasi sering diperumit oleh adanya perbedaan-perbedaan persepsi dalam memandang masalah itu sendiri. Dalam hal ini komunikasi antar budaya diharapkan berperan memperbanyak dan memperdalam persamaan dalam persepsi dan pengalaman seseorang. Namun demikian karakter budaya cenderung memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang berbeda sehingga membawa kita kepada persepsi yang berbeda-beda.
Maka pemahaman dan penguasaan bahasa isyarat seperti: gerak-gerik anggota tubuh dan ekspresi wajah, maupun isyarat halus dari nada suara, kemungkinan akan ditafsirkan secara salah dan memungkinkan lain tersinggung perasaanya, tanpa kita tahu mengapa hal itu terjadi.


Komunikasi lintas budaya dapat membantu kita memperluas pengalaman dalam hal berkomunikasi. Sebagai contoh dari orang Yogyakarta mempunyai relasi dari Sunda yang mana juga memiliki keunikan dalam hal budaya. Selama terjadi interaksi antarbudaya ini kita bisa memahami pandangan budaya mereka, pandangan budaya kita serta nilai-nilai budaya lainnya.
Kebudayaan yang dimiliki oleh setiap daerah pasti mengusung keunikan yang mampu menyatukan setiap individu dalam daerah tersebut. Kebudayaan dapat dipelajari secara ilmiah dan terstruktur. Sistem nilai budaya yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dapat dibandingkan serta dapat dipahami.






















B.       PEMBAHASAN

1.        Persepsi orang Yogyakarta terhadap orang Sunda
Menurut informan kami orang Yogyakarta yang bernama Riza Nurahman (20 tahun) terhadap orang Sunda mengatakan bahwa orang Sunda cenderung berwatak humoris dan suka bercanda mereka gampang beradaptasi dengan sekelilingnya . Riza mengatakan bahwa keyakinan budaya Sunda tidak jauh dari unsur tradisi yang sudah mengental di Sunda tersebut, seperti ritual Sedekah Bumi. Dia juga sangat tertarik dengan budaya Sunda karena hampir sama dengan Yogyakarta. Selain itu Riza juga memiliki pandangan terhadap masakan daerah Sunda yang enak. Riza juga mengaku belum pernah mengalami perselisihan terhadap orang Sunda karena ia dapat menyesuaikan diri dengan orang Sunda.
Menurut Riza juga ada pengaruh iklim orang Sunda yang dingin juga mempengaruhi bahwa orang Sunda biasanya kalau berbicara sangat halus dan baik. Mengenai kehidupan orang Sunda dari segi lingkungan social, Riza juga menilai bahwa orang Sunda sangat menjunjung tinggi asas kebersamaan dan gotong royong, orang Sunda dari segi agamis sangat kuat dalam hal agama, dan orang Sunda dari segi ekonomi selalu bekerja keras untuk mencapai sesuatu untuk mencukupi kebutuhan ekonominya.
Riza juga membenarkan bahwa orang Sunda yang tinggal di daerah luar Sunda logat orang Sunda tersebut tidak dapat hilang karena rasa kearifan lokalnya yang sangat kuat walaupun sudah tinggal bertahun-tahun di daerah luar Sunda tidak ada batasan dari generasi muda maupun generasi tua.
Sedangkan menurut informan kami orang Yogyakarta generasi tua yang bernama Pak Ranu (48 tahun) memiliki pandangan yang tak jauh berbeda terhadap orang Sunda bahwa orang Sunda itu adalah orang-orang yang humoris dan kalau berbicara lucu dan suka bercanda.
Kebiasaan orang Sunda juga bagus karena orang Sunda yang suka bercanda akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari yang ceria. Selain itu pada saat berbicara dengan orang Sunda terasa hangat dan menyenangkan, hangat karena bisa diajak berdiskusi dengan baik, menyenangkan karena saat berkomunikasi diselingi kata-kata humor walaupun orang Sunda saat berbicara terkesan banyak omong kalau misalnya kita udah kenal dekat. Cara Bapak Ranu untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan cara mencoba memahami sifat dan karakter orang Sunda walau dari luar nampak humoris namun biasanya pendendam. Pak Ranu sendiri belum pernah mengalami perselisihan terhadap karakter orang Sunda.
Pak Ranu juga mengatakan bahwa bahasa budaya Sunda atau orang Sunda yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam rutinitas sehari-hari. Selain bahasa ada juga kesenian Sunda seperti : kegiatan sakral dan ritual. Kepercayaan lokal, seperti Sedekah Bumi, Wayang golek, Ibing trawangsa, dan kesenian permaianan anak seperti, kurina urang lembur, sorodot gaplok, tatarucingan, ucing sumput, ngadu muncang dll. Pak Ranu mengatakan bahwa kebudayaan Yogakarta dengan Sunda hampir sama mereka juga mempunyai adat yang hampir sama seperti sedekah, yaitu sedekah bumi atau sajen. Pandangan Pak Ranu terhadap ciri khas bahasa Sunda  itu lebih halus dari Yogyakarta, cirri khas bahasa Sunda yaitu intonasinya yang sangat halus. Pak Ranu juga mengatakan bahwa pengaruh iklim Sunda mempengaruhi cara mereka berbicara karena daerah Sunda yang dingin menyebabkan mereka berbicara dengan intonasi yang rendah.
Pak Ranu menilai masakan Sunda lebih menarik dan lebih enak daripada masakan Yogyakarta dengan bermacam variasi rasa makanan, misal Makanan khas Bandung ini terbuat dari tepung aci dan ikan, diberi bumbu kemudian dikukus, dan disajikan atau dimakan dengan telur rebus, kol, tahu, kentang dan dicampur dengan saus kacang, yang sudah dibumbui, hampir sama dengan bumbu saos kacang batagor. Siomay ini terdapat di beberapa rumah makan, warung yang ada di kota Bandung. Pak Ranu juga mengatakan ciri khas masakan Sunda adalah pedas, agak asin dan ada petisnya. Pak Ranu mengatakan bahwa masakan orang Sunda adalah masakan yang sudah akrab dilida orang pada umumnya.
Pak Ranu pun menilai kehidupan orang Sunda dari segi lingkungan sosial, agama dan ekonomi sudah cukup baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Dari segi agamis mereka sangat menghargai agama lain. Pak Ranu juga mengatakan tidak benar orang Sunda pemilih dalam hal mencari pasangan hidup, karena mereka sangat menghargai suku budaya lain yang beranekaragam.
Dengan demikian menurut kedua Informan Yogyakarta terhadap orang btersebut dijelaskan bahwa watak orang Sunda itu memang harmonis dan sangat bersahaja. Namun, orang Sunda juga humoris, pintar melucu, dan pintar membawa suasana menjadi ceria. Walaupun orang Sunda nampak sombong dari luar, namun orang Sunda memiliki sikap yang murah hati. Orang Sunda juga akan marah jika harga dirinya dipermalukan di depan umum dan dilecehkan SARA-nya.
Ke dua Informan dari Yogyakarta juga menilai masakan-masakan Sunda sangat enak. Selain itu kebudayaan daerah Sunda juga sangat hamgat dan masih percaya dengan hal-hal gaib, intinya hampir sama dengan orang Yogyakarta pada umumnya.

2.    Persepsi orang Sunda terhadap orang Yogyakarta
Menurut Informan kami orang Sunda yang bernama Rani Shita (21 tahun) memiliki pandangan terhadap orang Yogyakarta bahwa orang Yogyakarta lebih ramah dari orang Sunda. Shinta juga memiliki pandangan terhadap kebiasaan orang Yogyakarta yang terkadang lebih munafik, suka basa-basi, sedikit sulit bergaul, ulet tekun penuh kehati-hatian dan pasrah. Namun, menurutnya orang Yogyakarta dalam berperilaku dan bertutur kata juga terkesan sopan (halus) agar tidak menyakiti lawan bicaranya saat berkomunikasi.
Shinta yang memiliki pengalaman berkomunikasi dengan orang Yogyakarta mengaku cukup menyenangkan. Adapun kendalanya saat berkomunikasi dengan orang Yogyakarta adalah nada bicaranya sangat halus dan murah senyum. Cara mengatasi kendala tersebut Shinta berusaha untuk berbicara lebih pelan dan juga mengadaptasi menjadi suka basa-basi kalau ingin berbicar karena orang Yogyakarta juga sangat gampang tersingung.
Shinta memiliki pandangan terhadap keyakinan budaya Yogyakarta yang masih sangat menghargai budayanya dan orang Yogyakarta benar-benar melestarikan budaya yang dimilikinya. Dia juga tertarik dengan budaya Yogyakarta karena budaya Yogyakarta yang masih sangat kental dengan kebudayaan jawanya seperti Sekaten. Adat istiadat Yogyakarta juga kental seperti Gunungan. Shinta juga mengatakan bahwa dia tidak memiliki kendala dalam menghadapi perbedaan adat istiadat Yogyakarta tersebut karena sudah bisa beradaptasi dan orang Yogyakarta yang mencintai budayanya hampir sama dengan budaya Sunda.
Shinta juga memiliki pandangan terhadap bahasa daerah Yogyakarta yang masih ada tatanan antara bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Kromo, sedangkan budaya Sunda tidak ada level nya seperti orang Yogyakarta, di budaya Sunda dari generasi muda dan tua sangat sama atau tidak ada beda level tutur katanya.
Shinta menilai masakan daerah Yogyakarta yaitu berciri khas serba Manis. Menurut Shinta juga, karakter orang Yogyakarta kerjanya tidak bisa cepat (alon-alon waton klakon). Sedangkan untuk masalah orang Yogyakarta yang dianggap suka menunda-nunda pekerjaan, memang benar . Banyaknya mitos orang Yogyakarta yang terlalu berlebihan ternyata juga kadang menakutkan bagi Shinta, namun menurutnya hal seperti itu antara percaya dan tidak percaya dia tanggapi, tapi terkadang mitos itu juga bisa terjadi.
Shinta juga membenarkan bahwa orang Yogyakarta itu terlalu banyak basa-basi (munafik). Selain itu masalah orang Yogyakarta juga sensitive terhadap penggunaan bahasa ibukota (bahasa gaul) bagi Shinta tergantung pada kepribadian orang Yogyakarta masing-masing. Adapun sebabnya orang Yogyakarta dapat sensitive terhadap hal itu karena orang Yogyakarta masih banyak yang menggunakan tatanan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Berbicara soal kehidupan orang Yogyakarta dari segi lingkungan sosial, Shinta berpandangan bahwa sosialisasinya cukup baik. Untuk kehidupan orang Yogyakarta dari segi agamis, Shinta mengatakan bahwa di Sunda semua agama ada, sedangkan di Yogyakarta masih ada campuran dan masih ada unsure kejawen. Sedangkan untuk kehidupan orang Yogyakarta dari segi ekonomi, lebih maju Sunda dari segi penghasilan karena di sana ada persaingan bisnis yang lebih ketat daripada Yogyakarta.
Masalah orang Yogyakarta yang terkesan “medok” dalam hal berkomunikasi, Shinta mengatakan bahwa lebih “medok” Sunda daripada Yogyakarta. Misalnya saja orang Sunda dan orang Yogyakarta bersama-sama tinggal di Jakarta 3 bulan, maka yang lebih cepat hilang “medok”nya saat berkomunikasi adalah orang Yogyakarta. Sedangkan untuk hal menentukan pasangan hidup, Shinta membenarkan bahwa orang Yogyakarta terlalu pemilih dalam memilih pasangan hidupnya karena terlalu memikirkan 3B pasangan hidupnya (bibit, bebet, bobot).
Ada juga Informan Sunda generasi tua yang bernama Bapak Tarmun (45 tahun) memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda terhadap orang Yogyakarta bahwa orang Yogyakarta adalah orang yang sabar dan sarat dengan sopan santun. Namun orang Yogyakarta biasanya menunda-nunda pekerjaan. Pengalaman Pak Tarmun saat berkomunikasi dengan orang Yogyakarta adalah tidak berterus terang dan cenderung banyak basa-basi, kendala yang dialami Bapak tarmun saat berkomunikasi dengan orang Yogyakarta karena tidak berterus terang jadi perlu kesabaran untuk mengetahui isi hati mereka kendala untuk mengatasinya adalah lebih agresif dan lebih membuka diri saat berinteraksi dengan orang Yogyakarta. Pak Tarmun menilai  keyakinan budaya Yogyakarta sangat luhur dan menjiwai disegala aspek kehidupan orang Yogyakarta, selain karena budayanya yang menjiwai segala aspek kehidupan orang Yogyakarta, juga karena sopan santunnya yang kental sekali sehingga mengharuskan Pak Tarmun untuk sabar menghadapinya dan meneladaninya karena itu semua sangat baik. Pak Tarmun memiliki pandangan terhadap budaya Yogyakarta yang halus sebagai bukti takut menyinggung lawan bicaranya serta terkesan pura-pura untuk menyenangkan lawan bicarannya.
Ada perbedaan adat istiadat Sunda dan Yogyakarta yaitu di Sunda cenderung tertutup apabila ditanyai asal usulnya, kendala yang dihadapi Pak Tarmun dalam menghadapi perbedaan adat istiadat Yogyakarta adalah menyesuaikan diri dari yang  “alon-alon waton klakon” sampai agresif namun berusaha untuk tetap tidak menyinggung perasaan. Kendala yang diatasi Pak Tarmun adalah dengan cara memperbanyak pergaulan dan belajar mengenai adat istiadat Yogyakarta. Pak Tarmun juga memandang bahasa daerah Yogyakarta itu halus dan memiliki ciri yang terdiri dari bahasa Ngoko, bahasa Ngoko Madya, bahasa Krama Inggil. Penggunaan bahasa tersebut tergantung terhadap kepada siapa kita berbicara, ada persamaan bahasa Sunda dengan bahasa Yogyakarta saat digunakan berkomunikasi.
Pak Tarmun juga menilai karakter orang Yogyakarta yang tidak suka berterus terang dan penuh basa-basi dengan alasan takut menyinggung perasaan namun halus tutur katanya. Cara Pak Tarmun untuk mengatasi kendala tersebut adalah mengimbangi dan menyesuaikan diri terhadap orang yang suka basa-basi. Pengaruh iklim pun tidak mempengaruhi cara berbicara orang Yogyakarta menurut beliau yang jelas bukan dari iklim tapi dari pengaruh kerajaan Mataram jaman dulu dan tidak semua orang Yogyakarta basa-basi karena basa-basi bukan dari budaya Yogyakarta juga,itu dilakukan agar tidak menyinggung lawan bicaranya. Pak Tarmun juga mengatakan memang benar orang Yogyakarta sensitive terhadap penggunaan bahasa ibukota karena menurut beliau itu dianggap “mbois”(sok modern), hal yang membuat orang Yogyakarta sensitive terhadap hal tersebut karena terkesan sok modern dan juga seolah-olah mereka yang menggunakan bahasa ibukota menganggap ibukota adalah segala-galanya terkesan mengejek atau menyindir. Pak Tarmun pun belum pernah mengalami perselisihan dengan orang Yogyakarta karena beliau mengatakan “Dimana saya berpijak disitu langit dijunjung” (pandai membawakan diri). Pak Tarmun juga menilai bahwa masakan Yogyakarta itu berciri khas serba manis dan selalu harus sering diawetkan (dipanaskan) misal : Gudeg, Bakpia, Yangko, Arem-arem, Lemper, Apem, jajanan pasar, dan lain sebagainya. Tanggapan Pak Tarmun terhadap mitos yang berkembang di Yogyakarta  yang berlebihan sebaiknya diikuti saja kalau itu demi keselamatan kita juga.
Pak Tarmun pun menilai masyarakat Yogyakarta dari segi lingkungan sosial, agama dan ekonomi sudah cukup baik. Dari segi lingkungan sosial Pak Tarmun mengatakan luwes, mudah menyesuaikan diri terhadap orang dan lingkungan baru. Jika dilihat dari segi agama yaitu tekun dan selalu menjalankan perintah agamanya masing-masing dan dilihat dari segi ekonomi orang Yogyakarta itu ulet dan tekun dalam berusaha namun ada kecenderungan agak sedikit kikir atau pelit juga. Tanggapan Pak Tarmun terhadap orang Yogyakarta yang terkesan “medok” dalam berkomunikasi tidak ada masalah, biasa-biasa saja tanpa disadari saat kita berbahasa Indonesia biasa pun juga kadang-kadang terkesan medok. Pak Tarmun mengataka benar kalau orang Yogyakarta itu suka menunda-nunda pekerjaan. Orang Yogyakarta pun dikenal dengan sikap yang sopan dalam berperilaku dan bertutur kata karena mereka membanggakan sebagai daerah yang berupa kerajaan yang masih aktif sehingga menjiwai mereka sehari-hari. Namun Pak Tarmun tidak membenarkan kalau orang Yogyakarta pemilih dalam menentukan pasangan hidup karena itu kembali lagi ke pengalaman pribadi masing-masing. Orang Yogyakarta tidak rasialis atau pemilih dalam menentukan pasangan hidup.
Dengan demikian menurut kedua Informan Sunda terhadap orang Yogyakarta tersebut dijelaskan bahwa orang Yogyakarta itu sopan, tutur kata dan perilakunya halus, suka basa-basi, dan berputar-putar saat berbicara. Basa-basi yang dilakukan orang Yogyakarta tersebut karena takut menyakiti perasaan lawan bicaranya saat berkomunikasi. Unsure medhok dan budaya njawani yang dimiliki orang Yogyakarta bukan pengaruh dari iklim Yogyakarta namun dari pengaruh jawa kerajaan Mataram jaman dulu dan pengaruh Kraton Jawa Yogyakarta. Pak Tarmun juga menilai bahwa orang Yogyakarta sensitive terhadap penggunaan bahasa gaul ibu kota (elo gue, dan sebagainya) karena terkesan mbois atau sok-sok’an bagi orang Yogyakarta. Orang Yogyakarta juga terkesan suka tidak menghargai waktu atau suka molor waktu saat sudah menepati waktu janjinya dengan orang lain. Mereka juga masih mempercayai mitos-mitos yang berlaku di lingkungan masyarakat Yogyakarta.

C.       Kesimpulan
Memahami dan menghormati budaya sendiri dan budaya lainnya merupakan salah satu kunci keberhasilan terciptanya komunikasi yang efektif dalam komunikasi antar budaya. Di sini kami belajar untuk mengetahui apa yang seharusnya kami lakukan setelah wawancara dengan Informan tersebut. Dimana orang Sunda dengan orang Yogyakarta sama, mereka sangat mempercayai budaya leluhur yang sangat kental akan budayanya.
Diambil dari Informan Yogyakarta mengutarakan tentang budaya Sunda yang mana cenderung lugas, berwatak halus dan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Namun orang Sunda merupakan orang yang humoris dan pintar membawa suasana menjadi ceria. Akan menjadi sensitive jika orang Sunda disinggung tentang hal-hal yang berbau SARA. Budaya orang Yogyakarta yang masih mempercayai mitos-mitos pun dipandang sama dengan orang Sunda. Di Sunda juga ada budaya atau ritual lain selain Satu Suro yang ada di Yogyakarta, budaya Sunda juga mempunyai budaya seperti Sedekah Bumi yang hampir sama dengan Yogyakarta. Namun perbedaanyan dengan tutur kata yang budaya Sunda yang tidak sama , kalau di Yogyakarta generasi muda harus menghormati generasi tua dengan menggunakan bahasa jawa kromo alus atau kromo inggil namun di masa sekarang mulai pudar dengan budaya barat. Sedangkan di budaya Sunda tidak ada bahasa yang seperti di Yogyakarta , kalau di Budaya Sunda generasi muda dan Generasi muda sama dengan tutur katanya.
Intinya bahwa apabila kita menghadapi budaya-budaya yang belum kita pahami, kita harus bisa menyesuaikannya. karena di satu sisi kita harus menilai bahwa budaya lampau harus kita pelajari, setidaknya kita tau agar dimasa sekarang ini kita tau mana yang baik dan mana yang menyimpang. Itu semua haruslah menjadi pedoman, karena di indonesia masih banyak budaya-budaya lain yang belum kita ketahui ataupun kita pahami. Karena seperti diketahui, budaya adalah sesuatu yang dihasilkan oleh budi dan akal seseorang. Siapapun harus menghargai dan tidak ada campur tangan untuk mengubah atau menghilangkannya sekalipun. Semua mempunyai keunikan, kelebihan, bahkan kelemahan masing-masing. Sikap menghargai segala sesuatu yang berbeda itulah yang harus dijunjung. Dalam komunikasi lintas budaya pun juga dapat dilihat dari segi tujuannya.





Selengkapnya di http://www.maseteguh.com/2015/11/memasang-kode-unit-iklan-adsense.html#ixzz4MoUVmb9a